Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib saat berdialog dengan rombongan mahasiswa eksodus di halaman Kantor MRP, Jayapura, Kamis (9/1/2020). (Jubi/dok MRP) |
Jayapura, PMJS NEWS – Sejumlah 146 “mahasiswa eksodus” yang telah meninggalkan pendidikannya di berbagai perguruan tinggi di luar Papua pasca kasus rasisme Papua menyatakan persoalan yang dihadapi para mahasiswa eksodus lebih serius daripada urusan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua 2020. Jika Pemerintah Provinsi Papua tidak serius menangani masalah mereka, mahasiswa eksodus mengancam akan berupaya menggagalkan PON XX Papua.
Ancaman itu disampaikan rombongan 146 orang yang menyatakan diri sebagai perwakilan mahasiswa eksodus dan mendatangani Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) pada Kamis (9/1/2020). Oskar Gie, mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang turut dalam rombongan itu meminta Gubernur Papua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, dan MRP untuk tidak mengabaikan keberadaan ratusan mahasiswa eksodus yang terlanjur pulang ke Papua.
Oskar Gie menilai Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP terlihat mengabaikan penanganan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, dan lebih sibuk mengurus persiapan penyelenggaraan PON XX Papua 2020. “Kalau penanganan rasisme simpang-siur, kami bisa memobilisasi massa untuk membatalkan agenda macam PON,” tegas Gie.
Ia menyatakan persekusi dan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus lalu bukan persoalan biasa. Pasca kasus itu, mahasiswa Papua meninggalkan berbagai kota studi di luar Papua, seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Manado, dan Makassar. Para mahasiswa melakukan eksodus karena merasa tidak nyaman bertahan dan melanjutkan kuliah mereka.
Gie menuturkan asrama mahasiswa dan siswa asal Papua di berbagai kota studi luar Papua didatangi aparat keamanan. Sejumlah mahasiswa yang melakukan unjukrasa anti rasisme Papua juga diintimidasi, bahkan ditahan dan dipidanakan.
Unjukrasa anti rasisme Papua yang dilakukan di sejumlah kota juga kekerasan aparat keamanan. “Ada satu pelajar dan empat mahasiswa menjadi korban penembakan,” kata Gie.
Menurutnya, rentetan peristiwa itu seharusnya membuat Pemerintah Provinsi Papua serius menangani masalah rasisme terhadap orang Papua. Pemerintah Provinsi Papua bersama DPR Papua dan MRP juga harus serius menangani ratusan mahasiswa eksodus yang pulang ke Papua. “Jumlah mahasiswa eksodus itu besar, bertahan di beberapa posko di Papua,” ujar Gie usai memberikan keterangan pers di Kantor MRP pada Kamis.
Pimpinan rombongan 146 mahasiswa eksodus yang mendatangi Kantor MRP itu, Eko Pilipus Kogoya menyatakan para mahasiswa eksodus belum kembali ke kota studi, dan masih bertahan di Papua. “Kami yang pulang dari kota studi luar Papua belum kembali, kami masih ada di sini,” kata Kogoya.
Kogoya menyatakan para perwakilan mahasiswa eksodus seharusnya membacakan pernyataan sikap mereka pada Kamis. Pernyataan sikap itu batal dibacakan karena mereka gagal bertemu Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw.
“Hari ini kami tidak membacakan [pernyataan sikap kami], karena Gubernur Papua tidak ada. Kami akan bacakan pernyataan sikap akhir di depan tiga pimpinan pada Kamis pekan depan,” kata Kogoya.
Ketua MPR Timotius Murib menyatakan MRP sebagai lembaga kultural orang asli Papua menerima kehadiran para mahasiswa eksodus itu. Murib juga berjanji akan berupaya mempertemukan para mahasiswa eksodus dengan Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua.
“Pimpinan DPR Papua ada agenda lain, dan Gubernur Papua tidak ada di tempat. Mahasiswa minta pekan depan,” kata Murib saat ditanya soal permintaan para mahasiswa bertemu Gubernur Papua dan pimpinan DPR Papua.(*)
Reporter: Benny Mawel
Editor: Aryo Wisanggeni G
READ MORE
https://www.jubi.co.id/mahasiswa-eksodus-ancam-akan-gagalkan-pon-xx-papua-2020/
Posting Komentar
Mohon Komentar Sopan