Januari 2020

ARKEOLOG: ORANG PAPUA ANAK SULUNG DI WILAYAH INDONESIA DAN MASYARAKAT INDONESIA ADALAH PENDATANG


Arkeolog Dr. Harry Widianto usai diskusi Jejak Manusia Nusantara di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (5/11) (ANTARA/Prisca Triferna)

JAKARTA, PMJS-NEWS - Arkeolog Dr. Harry Widianto menyebut orang Papua adalah "anak sulung" dari bangsa yang kini mendiami wilayah modern yang sekarang disebut sebagai Indonesia karena nenek moyangnya adalah yang tertua datang ke daerah tersebut.
"Kalau kita bangsa Indonesia sekarang, yang paling sulung adalah orang-orang Papua. Indonesia bagian barat adalah pendatang dari China dan Taiwan. Lalu sekarang yang disebut pribumi itu apa? Karena pribumi itu orang Papua" ujar Harry ketika menjadi narasumber dalam diskusi Jejak Manusia Nusantara dan Peninggalannya di Museum Nasional, Jakarta Pusat pada Selasa (5/11).

Ia mengatakan ini berdasarkan fakta bahwa nenek moyang dari orang Papua adalah yang pertama datang ke wilayah nusantara saat zaman pra-sejarah.

Semua dimulai ketika nenek moyang manusia modern atau Homo sapiens keluar dari benua Afrika sekitar 150.000 tahun yang lalu, menyebar sampai dari timur Indonesia dan menetap hingga keturunannya memiliki ciri yang sama. Mereka masuk dalam ras yang disebut sebagai ras Melanesia.
Sementara itu, sebagian besar suku-suku yang berada di barat Indonesia adalah berasal dari ras Mongoloid yang diperkirakan bergerak dari Fujian di China modern sekitar 7.000 tahun lalu. Kelompok itu bergerak ke Taiwan menjadi populasi yang besar dan dari sana menyebar ke daerah lain hingga sampai ke Indonesia dan kini dikenal sebagai suku bangsa Austronesia.

Baca Juga: Saban sampai Merauke Milik Ras Melanesia, tetapi punah ketika Melayu  datang dikemudian masa
Mereka memiliki ciri yaitu pertanian awal dan menjinakkan tumbuhan dan binatang. Mereka adalah pelaut yang sangat ulung, melakukan pergerakan dari pulau ke pulau sambil memperkenalkan pertanian.
" Harus bisa membedakan antara ras dan etnis. Ras adalah berdasarkan fakta biologis, genetika yang berada di dalam tubuh sementara suku dan etnis adalah bentukan dari budaya," kata Harry dari Balai Arkeolog Yogyakarta itu, dalam acara yang digawangi majalah sejarah daring Historia.
Oleh karena itu untuk memutuskan suku bangsa apakah yang menjadi "pribumi" Indonesia sendiri akan sangat sulit, karena dari penilaian biologis sendiri sudah terjadi pencampuran.


Sumber:Antara
Editor:Misba


ID.

Apa yang Dipertaruhkan di Papua Barat

Dr Mark Busse dan Sophie Faber memeriksa sejarah Papua Barat untuk melihat apa yang dipertaruhkan secara politik dan ekonomi dalam kerusuhan saat ini

Para pengunjuk rasa di Papua Barat membakar sebuah gedung pertemuan regional. Foto: Getty Images


Papua Barat telah di media lebih dari biasanya selama enam bulan terakhir, dengan cerita tentang protes adat terhadap rasisme dan penindasan, tuntutan untuk kemerdekaan, polisi Indonesia yang brutal dan tindakan keras militer, dan pelarangan jurnalis asing. Namun, banyak orang tahu sedikit tentang Papua Barat, wilayah yang lebih besar dari Jerman dengan populasi 3,5 juta. Dalam artikel ini, kami memberikan pengantar singkat ke Papua Barat, dengan fokus pada latar belakang sejarah situasi saat ini dan apa yang dipertaruhkan secara politik dan ekonomi dalam kerusuhan saat ini.

Nama "Papua Barat" itu sendiri dapat membingungkan, dan bagaimana nama ini digunakan adalah tindakan politik. Namanya mengacu pada bagian barat pulau New Guinea, tepat di utara Australia. Bagian timur pulau ini adalah bagian dari Papua Nugini, yang merdeka dari Australia pada tahun 1975. Bagian barat Papua, saat ini bagian dari Indonesia, telah memiliki berbagai nama selama 125 tahun terakhir — Belanda Nugini, Nugini Barat , Irian Barat, Irian Jaya, dan Papua. Sejak 2007, Papua Barat telah menjadi dua provinsi yang terpisah — Papua (sebagian besar bagian barat Pulau Papua) dan Papua Barat (ujung pulau paling barat). Namun, para aktivis kemerdekaan dan para pendukung mereka menyebut seluruh bagian barat pulau itu sebagai “Papua Barat”, dan itulah bagaimana kami akan menggunakan nama itu dalam artikel ini.

Melihat sekilas peta pulau itu menunjukkan kesewenang-wenangan banyak batas politik, yang mencerminkan sejarah kolonial New Guinea. Banyak dari ini adalah garis lurus; tertarik oleh orang Eropa yang tidak tahu apa-apa tentang daerah yang mereka bagi, dan yang tidak ada hubungannya dengan medan atau kepentingan orang-orang yang tinggal di sepanjang perbatasan itu. Kesewenang-wenangan ini terutama berlaku untuk perbatasan internasional 820km antara Papua Nugini dan Indonesia.

Orang-orang telah tinggal di Papua selama sekitar 50.000 tahun. Sementara gambar-gambar populer Barat tentang Papua adalah primitif dan terisolasi, orang-orang Papua memiliki sejarah panjang inovasi dan telah terhubung dengan bagian lain dunia untuk waktu yang lama. Wilayah dataran tinggi yang sekarang Papua Nugini adalah salah satu tempat pertama di dunia di mana orang berlatih pertanian, dimulai sekitar 9.000 tahun yang lalu. Tebu pertama kali didomestikasi di dataran rendah Papua sekitar 8.000 tahun yang lalu, dan bulu-bulu burung cendrawasih dari Papua digunakan sejak 2000 tahun yang lalu.

Kolonisasi Eropa di Papua Barat dimulai dengan sungguh-sungguh pada tahun 1828 ketika Belanda mengklaim kedaulatan atas Papua Barat di sebelah barat 141 ° bujur timur. Klaim ini dibuat sebelum orang Belanda, atau orang Eropa lainnya, yang mengunjungi pedalaman Papua, dan dibuat tanpa adanya pengetahuan Barat tentang orang-orang yang tinggal di, atau dekat, meridian ke-141.

Selama abad ke-19 dan awal ke-20, Belanda mempertahankan beberapa pos terdepan di pesisir Papua Barat. Kemudian, antara tahun 1928 dan 1942, otoritas kolonial Belanda memenjarakan sekitar 1.000 nasionalis Indonesia di dekat hulu Sungai Digul, sebuah daerah terpencil di Papua Barat yang sebagian besar terputus dari dunia luar dan terkenal karena malaria endemik. Akibatnya, kamp penjara ini, dan Papua Barat lebih umum, menjadi bagian dari narasi kemerdekaan Indonesia.

Indonesia menyatakan kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1945, tetapi butuh empat tahun konflik bersenjata sebelum Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sebagai bagian dari perjuangannya, Indonesia menegaskan klaim politik untuk Papua Barat, yang ditolak Belanda. Pada tahun 1950, sebuah komite pejabat Indonesia dan Belanda, tetapi tidak ada orang Papua Barat, bertemu untuk menentukan nasib Papua Barat. Indonesia berpendapat bahwa semua wilayah kolonial Belanda secara historis bagian dari Indonesia yang lebih besar, klaim yang ditolak Belanda. Mereka berpendapat bahwa orang Papua berbeda ras dan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Sementara banyak negara sepakat dengan Belanda, Amerika Serikat, yang peduli untuk mempertahankan Indonesia pada pihak mereka dalam Perang Dingin, mendesak Belanda untuk menyetujui tuntutan Indonesia.

Pada tahun 1961, setelah sepuluh tahun negosiasi yang tidak meyakinkan, Dewan Papua, yang terdiri dari orang Papua Barat, menyatakan kemerdekaan dan mengadopsi bendera Bintang Kejora, yang pertama kali dinaikkan pada tanggal 1 Desember 1961. Bendera ini telah menjadi simbol yang kuat bagi orang Papua Barat , banyak dari mereka telah diserang atau dipenjara selama bertahun-tahun karena meningkatkannya. Menanggapi deklarasi kemerdekaan, Indonesia melancarkan kampanye militer yang gagal untuk "mendapatkan kembali" Papua Barat dari Belanda pada tahun 1962. Pada tahun yang sama, Belanda setuju untuk administrasi PBB Papua Barat dengan pemahaman bahwa referendum tentang masa depan Papua Barat akan diadakan sebelum akhir 1969.

Pada tanggal 2 Agustus 1969, sebuah "Tindakan Pilihan Bebas" diselenggarakan oleh militer Indonesia di bawah pengawasan PBB. Daripada referendum orang Papua Barat, yang merupakan apa yang direncanakan PBB, konsultasi diadakan dengan 1025 pemimpin Papua Barat yang, di bawah pengawasan ketat militer Indonesia, dipaksa dengan todongan senjata dan melalui angkat tangan untuk dengan suara bulat menyetujui mereka integrasi negara dengan Indonesia. Terlepas dari argumen Ghana dan negara-negara Afrika lainnya untuk referendum baru, Majelis Umum PBB mengesahkan penggabungan Papua Barat ke Indonesia, ironisnya atas nama dekolonisasi dan stabilitas regional.

Dari tahun 1969 hingga saat ini telah terjadi perlawanan bersenjata oleh kelompok-kelompok yang mencari kemerdekaan, dan diperkirakan 100.000 orang Papua Barat telah terbunuh dalam kekerasan yang terjadi kemudian. Indonesia telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan militer terhadap warga sipil yang mengadvokasi kemerdekaan atau mengungkapkan simpati terhadap pemberontak. Orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora dipenjara karena pengkhianatan. Indonesia memerintah Papua Barat sebagai negara polisi, termasuk melarang wartawan internasional. Pada 2010, 13.500 pengungsi Papua Barat tinggal di pengasingan di Papua Nugini.

Apa yang dipertaruhkan dalam perjuangan melawan Papua Barat ini? Mengapa Indonesia tidak mau membiarkan orang Papua menggunakan hak menentukan nasib sendiri? Sebagian besar jawabannya berkaitan dengan sumber daya ekonomi dan tanah Papua yang sangat besar.

Ketika Belanda mengklaim kedaulatan pada tahun 1828, mereka tahu sedikit tentang potensi ekonomi Papua Barat. Namun, selama abad terakhir, sumber daya yang sangat besar di Papua Barat menjadi lebih jelas. Akses ke sumber daya telah menjadi faktor utama yang mendorong kepentingan Belanda, Indonesia, dan Amerika di Papua Barat sejak tahun 1945. Sumber daya itu meliputi beberapa deposit emas dan tembaga terbesar di dunia, deposit minyak dan gas yang besar, hutan yang luas, dan tanah itu sendiri.

Tambang Grasberg, yang dimiliki bersama oleh pemerintah Indonesia dan perusahaan pertambangan AS Freeport-McMoRan, memiliki cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar kedua di dunia. Cadangan minyak dan gas Papua Barat yang besar dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan Inggris, Cina, dan Jepang. Papua Barat memiliki lebih dari 10 juta hektar hutan hujan tropis di mana Indonesia telah memberikan konsesi penebangan. Setelah hutan ditebangi, tanah tersebut digunakan untuk menanam makanan dan mengekspor tanaman komersial, terutama kelapa sawit. 

Selain pertanian industri, tanah di Papua Barat berharga untuk memukimkan orang-orang dari daerah padat penduduk lainnya di Indonesia. Pada tahun 1970, penduduk asli Papua Barat 90 persen dari populasi. Pada 2010, mereka kurang dari setengah populasi. Meskipun sumber daya alamnya menguntungkan, ketersediaan lahan untuk pemukiman kembali merupakan salah satu motivasi terbesar bagi oposisi Indonesia terhadap penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat. Dengan 20 persen dari daratan Indonesia, Papua Barat memiliki kurang dari dua persen dari populasi Indonesia, dan Indonesia melihat ini sebagai hal penting untuk menyelesaikan masalah populasinya.

Peristiwa kekerasan baru-baru ini di Papua Barat merupakan kelanjutan dari perjuangan panjang melawan rasisme dan kolonialisme. Hanya sedikit keuntungan dari sumber daya alam yang mengalir ke Papua Barat. Sebaliknya, orang Papua Barat telah diusir dari tanah mereka, menjadi sasaran rasisme brutal, dan diperlakukan seperti orang asing di tanah mereka sendiri. Tragedi adalah bahwa Indonesia, yang memiliki pengalaman pemberontakan dan pemberontakan melawan kolonialisme Belanda sendiri, tidak dapat mengidentifikasi diri dengan perjuangan anti-kolonial Papua Barat saat ini dan yang sedang berlangsung.

______________________________________________________
ING

What’s at stake in West Papua

Dr Mark Busse and Sophie Faber examine West Papua's history to see what's at stake politically and economically in the current unrest


West Papua has been in the media more than usual over the last six months, with stories about indigenous protests against racism and repression, demands for independence, brutal Indonesian police and military crackdowns, and the banning of foreign journalists. 

And yet, many people know little about West Papua, a territory larger than Germany with a population of 3.5 million. In this article, we provide a brief introduction to West Papua, focusing on the historical background to the present situation and what is at stake politically and economically in the current unrest.

The name “West Papua” can itself be confusing, and how this name is used is a political act. The name refers to the western half of the island of New Guinea, just north of Australia. The eastern half of the island is part of Papua New Guinea, which became independent from Australia in 1975. The western half of New Guinea, currently part of Indonesia, has had various names over the last 125 years—Netherlands New Guinea, West New Guinea, West Irian, Irian Jaya, and Papua. Since 2007, West Papua has been two separate provinces—Papua (most of the western half of New Guinea) and West Papua (the westernmost tip of the island). Independence activists and their supporters, however, refer to the entire western half of the island as “West Papua”, and that is how we will use the name in this article.

A quick look at a map of the island shows the arbitrariness of many political boundaries, reflecting the colonial histories of New Guinea. Many of these are straight lines; drawn by Europeans who knew little to nothing about the areas they were dividing, and which have nothing to do with terrain or the interests of the people who live along those boundaries. This arbitrariness is especially true of the 820km international border between Papua New Guinea and Indonesia.

People have lived in New Guinea for approximately 50,000 years. While Western popular images of New Guinea are of primitiveness and isolation, the people of New Guinea have long histories of innovation and have been connected with other parts of the world for a long time. The Highlands region of what is now Papua New Guinea was one of the first places in the world where people practiced agriculture, beginning about 9,000 years ago. Sugar cane was first domesticated in lowland New Guinea approximately 8,000 years ago, and bird of paradise feathers from New Guinea were used in China as long as 2,000 years ago.

European colonisation of West Papua began in earnest in 1828 when the Dutch claimed sovereignty over New Guinea west of 141° east longitude. This claim was made prior to any Dutch, or other European, person visiting the interior of New Guinea, and was made in the absence of any Western knowledge concerning the people who lived on, or near, the 141st meridian.

During the 19th and early 20th centuries, the Dutch maintained a few outposts on the coasts of West Papua. Later, between 1928 and 1942, Dutch colonial authorities imprisoned about 1,000 Indonesian nationalists near the headwaters of the Digul River, a remote area of West Papua largely cut off from the outside world and notorious for endemic malaria. As a result, this prison camp, and West Papua more generally, became part of the Indonesian independence narrative.

Indonesia declared independence from the Netherlands in 1945, but it took four years of armed conflict before the Netherlands recognised Indonesia’s independence. As part of its struggle, Indonesia asserted a political claim to West Papua, which the Netherlands rejected. In 1950, a committee of Indonesian and Dutch officials, but no West Papuans, met to determine West Papua’s fate. Indonesia argued that all Dutch colonial territory was historically part of greater Indonesia, a claim the Dutch rejected. They argued that West Papuans were racially distinct and had a right to self-determination. While many countries agreed with the Dutch, the United States, concerned to keep Indonesia on their side in the Cold War, pressed the Dutch to acquiesce to Indonesia’s demands.

In 1961, after ten years of inconclusive negotiations, the New Guinea Council, made up of West Papuans, declared independence and adopted the Morning Star flag, which was first raised on December 1, 1961. This flag has become a powerful symbol for West Papuans, many of whom have been attacked or imprisoned over the years for raising it. In response to the declaration of independence, Indonesia mounted an unsuccessful military campaign to “regain” West Papua from the Dutch in 1962. The same year, the Dutch agreed to UN administration of West Papua with the understanding that a referendum on West Papua’s future would be held before the end of 1969.

On August 2,1969, an “Act of Free Choice” was organised by the Indonesian military under UN supervision. Rather than a referendum of West Papuan people, which was what the UN planned, consultations were held with 1025 West Papuan leaders who were, under the watchful eye of the Indonesian military, forced at gunpoint and through a show of hands to unanimously agree to their country’s integration with Indonesia. Despite arguments by Ghana and other African countries for a new referendum, the UN General Assembly endorsed the incorporation of West Papua into Indonesia, ironically in the name of decolonisation and regional stability.

From 1969 until today there has been ongoing armed resistance by groups seeking independence, and it is estimated that 100,000 West Papuans have been killed in the ensuing violence. Indonesia has been accused of human rights abuses, including military attacks on civilians advocating for independence or expressing sympathy toward rebels. People who raise the Morning Star flag are jailed for treason. Indonesia governs West Papua as a police state, including banning international journalists. As of 2010, 13,500 West Papuan refugees live in exile in Papua New Guinea.

What is at stake in these struggles over West Papua? Why is Indonesia unwilling to allow West Papuans to exercise their right of self-determination? Much of the answer has to do with West Papua’s huge economic and land resources.

When the Dutch claimed sovereignty in 1828, they knew little about the economic potential of West Papua. Over the last century, however, the enormous resources of West Papua have become clearer. Access to resources has been a major factor driving Dutch, Indonesian, and American interests in West Papua since 1945. Those resources include some of the world’s largest gold and copper deposits, large oil and gas deposits, vast forests, and the land itself.

The Grasberg mine, jointly owned by the Indonesian government and the US mining company Freeport-McMoRan, has the world’s largest gold reserves and the world’s second largest copper reserves. West Papua’s large oil and gas deposits are being exploited by British, Chinese, and Japanese companies. West Papua has more than 10 million hectares of tropical rainforest for which Indonesia has granted logging concessions. After the forests are removed, the land is used to grow food and export cash crops, especially oil palm. 

In addition to industrial agriculture, land in West Papua is valuable for resettling people from other densely-populated parts of Indonesia. In 1970, indigenous West Papuans were 90 percent of the population. By 2010, they were less than half of the population. As lucrative as the natural resources are, it is the availability of land for resettlement that provides one of the biggest motivations for Indonesia’s opposition to West Papuan self-determination. With 20 percent of Indonesia’s landmass, West Papua has less than two percent of Indonesia’s population, and Indonesia sees this as critical to solving its population problem.

The recent violent events in West Papua are a continuation of a long struggle against racism and colonialism. Few profits from natural resources have gone to West Papuans. Instead, West Papuans have been evicted from their lands, subjected to brutal racism, and treated like foreigners in their own lands. The tragedy is that Indonesia, which has its own experience of rebellion and revolt against Dutch colonialism, cannot identify with the current and ongoing anti-colonial struggles of West Papuans.

Ilustrasi kantor LBH Papua – PMJSNEWS/Facebook LBH Papua.

JAYAPURA, PMJS NEWS - K Jubi – Sejumlah anggota kepolisian mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua di Jalan Gerilyawan nomor 46, Distrik Abepura, Kota Jayapura pada Selasa (14/1/2020).

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay kepada Jubi mengatakan sejumlah polisi yang diduga dari Polda Papua dan Polsek Abepura tersebut datang ke kantor LBH Papua mencari oknum mahasiswa eksodus bernama Oskar Gie. Akan tetapi saat datang ke kantor LBH Papua, para personel polisi tersebut tidak menunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan.



“Informasi dari staf LBH polisi datang untuk menangkap Oskar Gie, salah satu mahasiswa eksodus yang kemarin sempat ke Kantor Perhimpunan Advokasi Kebijakan dan Hak Asasi Manusia (PAK-HAM) Papua dan melarang beberapa mahasiswa eksodus yang mau pulang ke kota studi dan menyatakan kepada direktur Pak HAM kalau pendataan yang mereka lakukan ilegal,” kata Emanuel Gobay, Selasa (14/1/2020).

Menurutnya, saat mendatangi kantor PAK HAM Papua akhir pekan lalu menolak pemulangan beberapa mahasiswa eksodus lain ke kota studi oleh PAK HAM Papua, mahasiswa yang menolak sempat merekam suasana sekitar. Oskar Gie kemudian mengunggah rekaman video tersebut ke akun Facebooknya, dan rekaman video itu dilihat polisi.

“Ada satu pernyataan di situ yang menurut polisi menghina sehingga mereka datang ke kantor LBH untuk menangkap Oskar Gie.
Salah satu kepala divisi di LBH menerima para polisi ini menanyakan apakah ada surat tugas dan surat penangkapan, tapi tidak ditunjukkan. Ia meminta polisi membuat surat panggilan klarifikasi kepada Oskar Gie sesuai prosedur,” ujarnya.

Emanuel Gobay menyesalkan sikap anggota kepolisian yang datang ke kantor LBH Papua dalam jumlah cukup banyak, namun tidak menunjukkan surat perintah tugas dan penangkapan. Sikap itu dinilai tidak estis karena penegak hukum datang ke kantor lembaga hukum dengan cara seperti itu.

“Saya kalau ke Polda menunjukkan kartu advokat dan surat kuasa sebagai bentuk penghargaan etika profesi dan menghargai kepolisian. Tapi itu tidak dilakukan anggota polisi yang datang ke kantor LBH. Itu sama saja tidak menghargai etika profesi,” ucapnya.

Ia berharap Kapolda Papua dan Kapolsek Abepura menegakkan profesionalisme dalam kepolisian khususnya kepada anggota polisi yang datang ke kantor LBH.

Kapolda Papua diminta mendidik anggotanya yang datang ke kantor LBH tanpa surat tugas dan surat perintah penangkapan.

“Oskar Gie dijadwalkan akan datang ke Polda Papua memberikan klarifikasi disampingi LBH Papua pada 17 Januari 2020,” katanya.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal ketika dikonfirmasi Jubi melalui aplikasi pesan terkait kedatangan polisi ke kantor LBH Papua belum memberikan jawaban. Yang bersangkutan belum membaca pesan yang dikirim Jubi kepadanya.

Akan tetapi sehari sebelumnya, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw kepada media menyatakan akan menindak tegas dan mencari pihak yang berupaya menghalangi pemulangan para mahasiswa eksodus ke berbagai kota studi.

Menurut Kapolda Papua, jika para mahasiswa eksodus tidak kembali ke kota studi, sebagain besar akan drop out dari kampus.

“Sudah empat kali proses pemulangan mahasiswa ke kota studi dihalangi pihak tertentu. Selanjutnya, pada proses pemulangan mahasiswa eksodus ke kota studi akan berjalan aman,” kata Irjen Pol Paulus Waterpauw. (*)

Reporter: Arjuna Pademme
Editor: Edho Sinaga
Read More 
https://www.jubi.co.id/cari-oknum-mahasiswa-eksodus-polisi-datangi-kantor-lbh-papua-tanpa-surat-tugas/

Persidangan terhadap salah seorang terdakwa pengunjuk rasa antirasisme di Deiyai, Selasa (14/1/2020) – Jubi/Titus Ruban.

NABIRE, PMJS NEWS - Sidang pembuktian terus berlanjut atas Penangkapan Korban Demontrasi Anti Raisme di Deiyai dan dijadikan tersangka oleh Polres Paniai, seperti yang diberitakan melalui Jubi – Majelis hakim memutuskan melanjutkan sidang perkara unjuk rasa antirasisme di Deiyai. Mereka menolak seluruh eksepsi yang diajukan penasihat hukum terdakwa sehingga memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) melanjutkan ke proses pembuktian.

”Kita akan lanjutkan di sidang pembuktian, pekan depan.  Kami akan berupaya untuk menghadirkan semua hakim agar perkara ini segera diputuskan,” kata Hakim Erent Jannes Ulean, Selasa (14/1/2020).

Ketua Pengadilan Negeri (PN) Nabire tersebut memimpin sidang terhadap terdakwa Alex Pakage, Stefanus Goo, Melianus Mote, dan Simon Petrus Ukago. Majelis hakim yang dipimpin Rifin Nurhakim Saetapi, sebelumnya juga menolak eksepsi terhadap Yuven Pekei, dan Andreas Douw, terdakwa dalam perkara yang sama.

Hakim dalam putusan sela menolak eksepsi penasihat hukum yang mendalilkan bahwa sidang terhadap Douw tidak bisa dilanjutkan karena terdakwa masih di bawah umur. Ketentuan itu merujuk kepada Undang Undang Perlindungan Anak.

Argumen penasihat hukum tersebut dimentahkan majelis hakim. Mereka memastikan terdakwa Douw saat disidangkan telah berusia lebih dari 18 tahun sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai anak.

Meskipun merasa keberatan, penasihat hukum terdakwa menyatakan dapat menerima dan menghormati putusan sela tersebut. Menurut mereka, pada prinsipnya keputusan itu merupakan kewenangan hakim.

“Hakim beralasan terdakwa sudah berumur 18 tahun lebih beberapa bulan sehingga bisa menggunakan mekanisme sidang biasa (bukan persidangan anak). Ini saya sangat sesalkan,” kata Emanuel Gobay, anggota tim penasihat hukum, seusai persidangan.

Ada tiga persidangan yang digelar dalam perkara Unjuk Rasa Antirasisme Deiyai di PN Nabire, hari ini. Sidang lainnya ialah terhadap terdakwa Steven Pigai, Mikael Bukega, dan Yos Iyai. Namun, persidangan mereka ditunda karena dua anggota majelis hakim tidak hadir.

Baca Juga : Peserta Demontrasi Damai Anti Rasisme Deiyai yang Dijadikan Tersangka Oleh Polres adalah Korban Kriminalisasi.

JPU mendakwa para pengujuk rasa dengan pasal berlapis dan diajukan melalui sembilan berkas terpisah. Sebanyak enam orang didakwakan dengan Pasal 1 dan 2 UU Darurat Nomor 12 tahun 1955 junto Pasal 212, dan Pasal 213 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun tiga lainnya didakwakan dengan Pasal 160 junto Pasal 55 KUHP.

Pasal 1 dan 2 UU Darurat Nomor 12 tahun 1955 memuat delik kepemilikan senjata tajam dan senjata api. Sementara itu, Pasal 212, dan Pasal 213 KUHP tentang tindak kekerasan, perlawanan, dan penyerangan terhadap aparat pemerintah. Adapun Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, dan Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana.

JPU menyatakan mereka mengupayakan menghadirkan ahli pidana, dan Bahasa Indonesia dalam sidang pembuktian terhadap terdakwa penghasutan dengan tuduhan makar, Kamis pekan depan. Kehadiran para ahli untuk menjelaskan makna referendum dalam pernyataan sikap saat unjuk rasa para terdakwa, 28 Agustus tahun lalu.

“Kehadiran ahli demi kepentingan pembuktian (dakwaan). Bahasa (istilah) referendum, harus ahli yang menjelaskannya,” kata anggota tim JPU Arnes Tomasila, seusai sidang. (*)


Reporter: Titus Ruban
Editor: Aries Munandar

Read More 
https://www.jubi.co.id/sidang-unjuk-rasa-antirasisme-deiyai-berlanjut-ke-pembuktian/

Bupati Deiyai, Ateng Edowai, S.Pdk, MM (kiri) dan Ketua DPRD Deiyai,Petrus Badokapa, S.Th (kanan)

DEIYAI, PMJS NEWS – RAZIAH Atribut Adat Papua seperti pakaian adat Koteka, Moge, Noken, serta atribut budaya Papua lainnya dilakukan oleh TNI dan POLRI sejak Demonstrasi Damai Penolakan Rasisme Indonesia terhadap Papua yang diciptakan berdarah hingga kini belum berhenti.

sepertiyang diberitakan melalui Jubi.co.id, Bupati Deiyai, Ateng Edowai meminta kepada aparat keamanan TNI dan Polri di daerah Tigi (Deiyai), agar menghentikan razia dan penyitaan noken yang dianyam dari kulit kayu, anak panah, busur dan sejenisnya.

Hal itu, menurut Ateng, akan memperpanjang trauma masyarakatnya. Sebab, selama ini masyarakat melapor kepadanya bahwa razia dilakukan di tempat umum seperti pasar dan Terminal Waghete, ibu kota Deiyai.



“Saya minta penyitaan atribut adat kami suku Mee harus dihentikan. Saya mohon Pak Kapolres Deiyai yang baru dan Perwira Penghubung memperhatikan hal ini,” ujar Ateng Edowai dalam sambutan acara Natal bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deiyai, TNI, Polri dan masyarakat di Deiyai, Selasa (14/1/2020).

Lanjut bupati, razia itu memang merupakan tanggung jawab aparat keamanan, namun ia meminta jangan sampai berlebihan dan tidak boleh menakut-nakuti masyarakat.

“Sengaja kami melaksanakan Natal gabungan supaya pemerintah, TNI, Polri, dan masyarakat bebas beraktivitas. Untuk menjaga kamtibmas Deiyai menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama,” ucapnya.

Menurutnya, jika aparat keamanan berkeinginan agar masyarakat melepaskan atribut-atribut tertentu, mestinya pihak TNI dan Polri mendatangi bupati agar bisa menyerukan pelarangan penggunaan atribut tersebut.

“Kapolres dan Dandim itu unsur pimpinan, pasti bangun komunikasi di tingkat pimpinan daerah. Jadi jangan turun ke tengah-tengah masyarakat tanpa sepengetahuan bupati. Saya tegaskan masyarakat saya tidak boleh ditakut-takuti dengan model apa pun,” ujarnya.

Kapolres Deiyai, AKBP Bambang Budianto mengatakan pihaknya tetap melakukan pendekatan-pendekatan secara manusiawi, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

“Tentu kita lindungi dengan tugas kita masing-masing,” ucapnya. (*)


Reporter: Abeth You
Editor: Kristianto Galuwo

Read More
https://www.jubi.co.id/bupati-deiyai-minta-tni-dan-polri-tak-razia-atribut-adat

Masyarakat Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke – Jubi/Frans L Kobun

MERAUKE, PMJS NEWS – Menyedihkan. Mungkin kata ini yang bisa diungkap sehubungan dengan kondisi kehidupan masyarakat di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, yang berpenduduk 131 jiwa atau sekitar 25 kepala keluarga itu.

Betapa tidak, dari tahun ke tahun tak ada bangunan sekolah dasar (SD) maupun Puskesmas Pembantu (PusTu). Pihak dusun sudah berulang kali mengusulkan ke pemerintahan kampung, namun hingga kini tak kunjung ada respons.

Kepala Dusun Yakyu, Lukas Robert Maywa, kepada Jubi di kampungnya, Senin (16/12/2019), mengakui hingga kini baik bangunan SD maupun pustu belum ada.

“Anak-anak yang hendak sekolah, terpaksa harus dibawa ke Kampung Rawa Biru yang jarak tempuhnya sangat jauh dan harus menyeberang lagi dengan ketinting,” ujarnya.

Dikatakan, anak-anak terpaksa dititip di keluarga agar bisa Sekolah di SD. Namun karena masih kecil, sehingga banyak yang putus sekolah. Kondisinya seperti demikian.

“Kami tak bisa banyak berbuat. Umumnya anak-anak mempunyai semangat untuk sekolah. Hanya saja di dalam kampung belum ada SD,” ungkapnya.

Selain itu, katanya, juga belum ada pustu. Jika ada orang sakit, pertolongan pertama dilakukan Satgas TNI yang bertugas. Jika kondisinya parah, harus menyewa motor untuk diantar ke unit layanan kesehatan terdekat yang jarak tempuhnya sekitar 25 kilometer dan masih harus dilanjutkan lagi dengan ketinting menuju Kampung Rawa Biru.

Hal senada disampaikan tokoh adat Dusun Yakyu, Taki Gore Maywa. Menurutnya, angka putus sekolah di dusun ini termasuk tinggi. Anak-anak tak betah tinggal di rumah keluarga di Kampung Rawa Biru untuk sekolah.

“Kalau mereka pulang dan tak ingin sekolah lagi, tentunya tidak bisa dipaksakan. Apalagi mereka masih kecil juga,” ungkapnya. (*)

Reporter: Ans K
Editor:  Dewi Wulandari


Ratusan OAP saat menghadiri diskusi bersama Ketua MRP, Timotius Murib – Jubi/Frans L Kobun



MERAUKE, PMJS NEWS - “Kabupaten Merauke dan Boven Digoel menjadi wilayah paling merah bagi masyarakat adat tentang hadirnya perkebunan kelapa sawit di sejumlah lokasi.”

PEKAN lalu ratusan masyarakat orang asli Papua (OAP) menghadiri diskusi bersama Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, yang didampingi dua anggotanya yakni Jhon Wob serta Albert Mouywen.

Diskusi sehari itu seputar Penyelamatan Manusia dan Tanah Papua. Berbagai persoalan dibeberkan mulai dari Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang tak dinikmati orang asli Papua hingga persoalan Tanah Masyarakat Adat yang telah dicaplok untuk kepentingan Perkebunan Kelapa Sawit.

Suasana diskusi yang berlangsung di aula Noken Sai, Hotel Asmat, sempat memanas. Satu di antara ratusan peserta, sempat berdiri dan membantingkan kursi ke lantai. Itu dilakukan setelah ketidakpuasannya dengan berbagai permasalahan yang mendera OAP, termasuk penggunaan dana otsus yang tidak tepat sasaran.

Salah seorang perwakilan perempuan, Beatrix Gebze, dalam kesempatan itu meminta kepada MRP memberikan sosialisasi lanjutan terkait putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang tanah adat bukan hutan negara.

Hal tersebut perlu dilakukan karena masih banyak masyarakat tidak memahami secara baik dan benar tentang keputusan MK dimaksud.

“Kita bicara tentang masyarakat adat, tidak terlepas dari perempuan,” ujar dia.

Tanpa perempuan, tidak mungkin adanya komunitas masyarakat adat. Apa yang disampaikan ini, melihat dari kacamata sektor investasi. Karena Merauke dan Boven Digoel menjadi wilayah paling merah bagi masyarakat tentang hadirnya perkebunan kelapa sawit.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan MRP melakukan sosialisasi secara kontinyu tentang hasil putusan MK tersebut. Sehingga dapat diketahui masyarakat terutama kaum perempuan.


Maria Karupat, perwakilan perempuan sedang menyampaikan sejumlah persoalan – Jubi/Frans L Kobun
Hal serupa disampaikan perempuan Papua lainnya, Maria Karupat. Dia juga menyoroti tentang pemanfaatan hutan oleh investor selama 30 tahun. Para pengambil kebijakan di negara ini harus memiliki itikad baik membuat aturan jelas.

Di mana setelah 30 tahun Tanah Masyarakat Adat dimanfaatkan oleh investor, dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu perlu aturan jelas dibuat, sehingga menjadi dasar pijak untuk dilaksanakan.

“Kalau hanya sekedar omong-omong tak ada landasan berupa dasar hukum, investor akan leluasa memanfaatnya lahan untuk kepentingan investasinya berupa kelapa sawit dan lain-lain,” katanya.

Dia meminta pemerintah tak menyalahkan masyarakat adat ketika melakukan aksi demonstrasi jika tanah adatnya dikuasai terus oleh investor untuk kepentingan pribadinya.

Maria juga menyoroti dana otonomi khusus (otsus) yang digulirkan pemerintah pusat selama ini.

“Saya heran ketika dilakukan evaluasi, justeru orang non-Papua dilibatkan. Sementara OAP tak dilibatkan sama sekali,” kritik dia.

Hendrikus Hengky Ndiken angkat bicara juga soal pemanfaatan dana otsus. Menurutnya sudah 18 tahun dana otsus digulirkan. Namun sayangnya tidak dinikmati sama sekali orang asli yang berdiam di Selatan Papua. Kehidupan mereka tak disentuh dari dana Otsus yang nilainya miliaran rupiah itu.

“Saya mencontohkan saja dalam wilayah Kota Merauke, masih banyak rumah milik OAP tidak layak sama sekali. Kondisi perumahan mereka sangat memprihatinkan,” katanya.

Selama dua periode menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke, dirinya terus berteriak agar dana Otsus disalurkan kepada OAP untuk menopang kehidupannya. Hanya saja tak digubris Pemkab Merauke.

“Tiap tahun dana otsus Rp130 miliar digelontorkan untuk Kabupaten Merauke. Tetapi tak ada manfaat didapatkan OAP. Ini menjadi suatu catatan serius bagi MRP agar segera dilakukan evaluasi, karena hanya tersisa beberapa tahun kedepan otsus berakhir,” ungkapnya.

Perwakilan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Merauke, Albinus Gebze, menegaskan selama ini pemerintah tidak memfasilitasi sekaligus memberikan penguatan terhadap LMA. Sehingga pertahanan kearifan masyarakat lokal Marind jebol.

Sejak tahun 2001, dana Otsus digulirkan dan 2 persen diperuntukan bagi masyarakat adat, tetapi realisasinya hingga sekarang tidak ada sama sekali.

Perwakilan mahasiswa, Lambertus A, menambahkan kebijakan pemerintah untuk penjabaran dana otsus tidak dilaksanakan sungguh-sungguh, terutama dalam bidang pendidikan.

“Anak-anak asli Papua tidak disekolahkan ke luar dengan menggunakan dana Otsus. Berulang kali kami bersuara bahkan melakukan aksi demonstrasi, tetapi terkesan dianggap angin lalu,” tegasnya.

Dalam kenyataan, dana otsus untuk bidang pendidikan lebih banyak dimanfaatkan mengirim anak-anak non-Papua kuliah di luar daerah.

“Pertanyaan saya, apakah dana otsus untuk orang non-Papua,” katanya.

Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan khusus berkaitan dengan putusan MK terkait tanah adat bukan hutan negara, pihaknya berjanji terus melakukan sosialisasi secara kontinu. Karena selain putusan MK juga adanya Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2015 tentang deklarasi penyelamatan hutan yang ditandatangani Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyo

“Saya mengakui kurang adanya sosialisasi dilakukan dan ini kelemahan MRP juga. Mulai tahun depan akan dilakukan sosialisasi secara kontinu kepada segenap masyarakat asli Papua,” ucapnya.

Khusus berkaitan dengan dana Otus, diakuinya menjadi sorotan secara umum oleh orang asli Papua. Karena pemanfaatanya tidak tepat sasaran.

“Dari waktu ke waktu kami terus berteriak kepada pemerintah agar dana Otsus disalurkan atau diberikan kepada OAP. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sekaligus menopang kehidupan keluarganya,” kata dia. (*)

Reporter : ANS K
Editor: Yuliana Lantipo
Red More : https://www.jubi.co.id/dari-gagalnya-otsus-hingga-masalah-perkebunan-kelapa-sawit-dibahas/

Acara pelepasan dan tradisi penciuman Tunggul Pers Satgas Operasi Papua, di halaman Mayonif Raider 323 Kostrad Buaya Putih Kota Banjar, Minggu (10/11/2019). Foto: Muhlisin/HR

BANJAR, PMJS NEWS - Batalyon Infanteri Raider 323 Kostrad Buaya Putih (BP) memberangkatkan sebanyak 450 prajurit, untuk menjalankan tugas penanganan konflik sosial di Papua.

Pemberangkatan prajurit Raider 323 itu, ditandai dengan mengadakan pelepasan dan pelaksanaan tradisi penciuman Tunggul Pers Satgas Operasi Papua, di halaman Mayonif Raider 323/BP 323 Kostrad, Kota Banjar, Jawa Barat, Minggu (10/11/2019).

Danyon Raider 323 Kostrad, Mayor Inf Afriandy Bayu Laksono mengatakan, Raider 323 Kostrad BP akan melaksanakan tugas penanggulangan konflik sosial yang ada di Papua.

“Dari Batalion Raider 323 ada 450 prajurit yang diberangkatkan. Dan patlon kami menjadi patlon kehormatan untuk mempertebal pasukan yang ada di Papua saat ini,” kata Mayor Inf Bayu Laksono kepada sejumlah awak media.

Mayor Inf Bayu Laksono menuturkan, mereka bertugas selama kurang lebih dua sampai tiga bulan kedepan, sampai ada perintah selanjutnya.

Lanjut Mayor Inf Bayu Laksono, tugas ini konteksnya untuk penanggulangan konflik sosial, mengantisipasi apabila terjadi kerusuhan, demontrasi dan menangani kejadian yang sifatnya vertikal.

“Secepatnya kami doakan dan berusaha semoga papua aman, tidak terjadi apa-apa dan tidak ada konflik,” katanya.

Sementara itu Komandan dan Brigif 13/Galuh Kostrad Kolonel Inf Mochamad Mahbub Junaedi menambahkan, sesuai dengan perintah dari Mabes TNI Satgas 323 ini diperintahkan untuk melaksanakan operasi pengamanan di Papua.

“Tugasnya adalah untuk mengantisipasi kemungkinan- kemungkinan adanya perkembangan situasi yang akan terjadi di Papua. Sementara itu tugas yang kami terima,” ucapnya.

Ia berharap semua anggota yang diberangkatkan bertugas dapat kembali dengan selamat dan melaksanakan tugas dengan baik.

“Mudah-mudahan semua anggota selalu diberi kesehatan kemudahan dan keselamatan, serta dapat menjalankan tugas dengan baik,” pungkasnya.

Reporter : Muhlisin
Editor : Jeffry MSP


Boaz T Solossa – Jubi/Dok

PORT NUMBAY – Rekan sesama Persipura, Dai Manu sudah menyampaikan sayonara dan izin pamit. Sedangkan Ell Capitano Boaz tetap sabar menanti kontrak baru dari Mutiara Hitam musim 2020. Apalagi keputusan untuk memilih pemain berada di pundak pelatih Kepala Persipura, Jacksen F Tiago.

Boaz Theopillus Solossa juga menghabiskan sebagian besar bersama klub berjuluk Mutiara Hitam, tepatnya Divisi Utama 2005-2006. Usai meraih medali emas saat Pekan Olahraga Nasional (PON) 2004 di Palembang Sumatera Barat.

Pelatih Persipura saat itu, M Rahmad Darmawan, langsung merekrut para punggawa eks PON 2004, seperti Boaz T Solossa, Korinus Fingkreuw, Christian Warabay, dan Ian Luis Kabes, serta Lesias Korwa gabung Persipura bersama kaka Eduard Ivakdalam dan kawan-kawan.

Tak heran kalau hingga saat ini Boaz T Solossa dan kawan-kawan masih menanti kontrak baru dari tim berjuluk Mutiara Hitam untuk musim 2020. Belum ada pengumuman siapa yang tetap dan akan berlanjut, tetapi Dai Manu Wanggai sudah pamit dan berlabuh di Borneo FC Samarinda.

Memang manajemen Persipura sudah menetapkan Jacksen F Tiago tetap sebagai pelatih kepala. Hal ini jelas wewenang untuk memilih dan menetapkan pemain berada di tangan Jacksen. Manajemen tinggal mengontrak pemain sesuai masukan dari pelatih kepala.

“Hingga saat ini, saya masih menunggu komunikasi dari manajemen soal masa depan saya di Persipura. Tapi kalau memang saya sudah tidak dipakai lagi, saya siap meninggalkan Persipura,” kata Boci sebagaimana dilansir Jubi.co.id

Namun Boci mengakui kalau usianya sudah tidak muda lagi, namun belum memutuskan untuk gantung sepatu.

“Kalau nanti saya sudah tidak lagi di Persipura, saya akan mencari klub lain untuk kompetisi tahun ini,” kata adik kandung Ortizan Solossa, eks wing bek kiri Persipura dan Persija ini.

Untuk tetap fit dan terjaga stamina, suami dari Adelina Gedi Solossa ini tetap berlatih dan menjaga kebugaran selama belum dipanggil klub Persipura berlatih.

Boaz T Solossa juga memberikan motivasi kepada adik-adik tim sepak bola PON Papua 2020. Kebetulan pelatih PON Papua, kaka Eduard Ivakdalam, dan asisten pelatih Gerald Pangkali, keduanya senior Boaz sewaktu masih di Persipura.

“Secara pribadi, saya tetap akan menunggu keputusan dari manajemen Persipura, apakah tetap dipertahankan atau tidak,” katanya.

Pelatih Jacksen F Tiago sendiri mengakui kalau kehadiran pemain senior juga penting dalam tim untuk keseimbangan antara yunior dan senior.

Dua pemain senior Persipura, Titus Bonay dan Boaz, selama musim lalu tetap menunjukkan ketajaman di antara kepungan para striker asing di Liga 1 Indonesia musim 2019.

Boaz mengoleksi sembilan gol sedangkan Titus Bonay mencetak 13 gol. Ketajaman dua striker senior ini perlu mendapat perhatian semua pihak, terutama manajemen dan pelatih. Kehadiran pemain senior masih perlu memberikan spirit dan motivasi.

Pemain senior dibutuhkan namun dibutuhkan jika bodi masih kuat, dalam pesannya sebagaimana dilansir tempo.co.id, Bambang Pamungkas alias Bepe, mengatakan usianya kini 39 tahun dan berpamitan dengan klupnya untuk pensiun, namun kondisinya berbeda dengan Ismed Sofyan yang meski 40 tahun mampu bermain penuh dalam satu pertandingan sebagai bek kanan. Akankah Boaz, Ian Kabes, dan Ricardo Salampesy mengikuti jejak Bepe dan Ismet Sofyan? Kita tunggu saja nanti pengumuman pelatih. (*)

Reporter: Dominggus Mampioper
Editor: Dewi Wulandari

Kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menghadang 27 mahasiswa eksodus yang akan diberangkatkan kembali ke Kota Studi di luar Papua oleh PAK-HAM Papua, Sabtu (11/1/2020). – Dok. Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura

PORNUMBAY, PMJS NEWS – Sekelompok “mahasiswa eksodus” di Jayapura, Papua, menghadang 27 orang mahasiswa eksodus lain yang ingin kembali ke kota studi untuk melanjutkan kuliah mereka, Sabtu (11/1/2020). Para penghadang itu memprotes 27 mahasiswa eksodus itu, menganggap mereka mencari solusi sepihak yang soal rasisme Papua dan nasib ratusan mahasiswa eksodus lain.

Sejak persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, ribuan mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Papua melakukan eksodus dan pulang ke Papua. Kepolisian Daerah Papua memperkirakan jumlah mahasiswa eksodus yang meninggalkan berbagai perguruan tinggi di luar Papua itu mencapai 3.000 orang. Sementara Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menyatakan jumlah mahasiswa eksodus di Papua mencapai 6.000 orang.

Pasca eksodus itu, sebagian besar mahasiswa eksodus bertahan di Papua, dan sebagian kecil lainnya kembali ke kota studi di luar Papua untuk melanjutkan kuliah. Sejak Agustus 2019, kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura terus menyeru agar semua mahasiswa eksodus solid dan bertahan di Papua. Akan tetapi, mereka belum pernah menghadang atau menghalangi mahasiswa eksodus lain yang ingin kembali ke kota studinya masing-masing.

Situasi berbeda terjadi pada Sabtu, ketika sejumlah orang dari kelompok  Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menghadang 27 mahasiswa eksodus yang akan berangkat menuju kota studi. “Ada 27 mahasiswa exsodus yang kami batalkan keberangkatannya pada Sabtu pagi,” kata anggota kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus, Kaitanus Ikinia dalam pesan singkatnya kepada Jubi.

Ikinia menyatakan 27 mahasiswa eksodus itu akan kembali ke kota studinya dengan biaya Perhimpunan Advokasi Kebijakan dan Hak Asasi Manusia (PAK-HAM) Papua. Ikinia menyatakan pihaknya sejak Sabtu pukul 05.00 WP mendatangi Kantor PAK-HAM di Jayapura, untuk menghadang 27 mahasiswa itu diberangkatan.

Kaitanus Ikinia menyatakan pihaknya memprotes dan menghadang pemberangkatan 27 mahasiswa eksodus itu, karena pemberangkatan itu dinilai mengabaikan persoalan rasisme Papua dan mengabaikan nasib 6.000 mahasiswa eksodus lainnya. Ikinia mengingatkan, ribuan mahasiswa Papua melakukan eksodus dari berbagai perguruan tinggi di luar Papua karena pernyataan Gubernur Papua dan Maklumat Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor 5/MRP/2019 tentang Seruan kepada Mahasiswa Papua di Semua Kota Studi pada Wilayah Negera Kesatuan RI untuk Kembali ke Tanah Papua.

“Kalau PAK-HAM mendata [mahasiswa eksodus], mau kasih pulang, apa kepentingan dan kapasitasnya? Yang keluarkan pernyataan [seruan agar para mahasiswa Papua] pulang [dari kota studi di luar Papua] itu Gubernur Papua dan Majelis Rakyat Papua, bukan PAK-HAM,” kata Ikinia.

Ikinia mendesak PAK-HAM menghentikan pendataan dan pemberangkatan mahasiswa eksodus ke kota studi di luar Papua, karena mahasiswa eksodus tengah membentuk tim untuk bertemu Gubernur Papua Lukas Enembe dan MRP. “Kami belum sampaikan pernyataan [sikap] kami kepada Gubernur Papua dan MRP, jadi yang dilakukan PAK-HAM itu ilegal,”ungkapnya.

Secara terpisah pemimpin kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura, Eko Pilipus Kogoya menyatakan sebelum penghadangan itu terjadi pihaknya telah berkomunikasi dengan PAK-HAM. Kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura bertemu dengan Direktur PAK-HAM, Matius Murib, pada Rabu (8/1/2020).

Kogoya menyatakan penghadangan pada Sabtu itu terjadi karena PAK-HAM tidak mengikuti kesepakatan mereka dengan kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura. “Rabu kami datang ke Kantor PAK-HAM, bertemu direkturnya, Matius Murib. Kami sampaikan, [PAK-HAM harus] berhenti mendata dan bertemu mahasiswa eksodus,” kata Kogoya saat dihubungi melalui panggilan telepon, Sabtu.

Kogoya menyatakan para mahasiswa eksodus telah membentuk tim sendiri, dan tim itu tengah mendata jumlah mahasiswa eksodus di Papua. Tim itu juga tengah berupaya mempertemukan mahasiswa eksodus dengan Pemerintah Provinsi Papua. “Kami sudah sepakat [hal itu. Akan] tetapi, pagi ini kami mendengar Pak Matius [Murib] mau memberangkatkan mahasiswa eksodus kembali ke kota studi mereka,” kata Kogoya.

Kogoya membenarkan pada Sabtu pukul 05.00 pagi kelompoknya mendatangi Kantor PAK-HAM di Abepura, Kota Jayapura. Saat kelompok Kogoya tiba di Kantor PAK-HAM, 27 mahasiswa eksodus itu tengah sarapan di sana. “Kami palang [pintu Kantor PAK-HAM] saat mereka makan. Kami minta [PAK-HAM] hadirkan Matius Murib [untuk menemui kami],” kata Kogoya.

Menurut Kogoya, Matius Murib akhirnya datang menjumpai mereka, dan sempat berdialog. “Kami bertanya, mengapa [Matius Murib] mau kasih pulang [27 mahasiswa eksodus ke kota studinya]? Kami punya sikap masih belum disampaikan ke Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua,” ujarnya.

Kogoya mengaku Matius Murib akhirnya bersepakat untuk tidak memberangkatan 27 mahasiswa eksodus itu pada Sabtu. “PAK-HAM sepakat batal, kami disuruh pulang. Kami sudah pulang, [tapi] ternyata Pak Matius Murib bawa  teman-teman ke bandara untuk berangkat. sehingga kawan-kawan ada di bandara,” kata Kogoya.

Direktur PAK-HAM, Matius Murib saat dihubungi pada Sabtu pukul 09.56 WP tidak merespon pertanyaan Jubi, karena tengah menemui kelompok kelompok Posko Induk Mahasiswa Eksodus yang berunjukrasa. “Ada sementara lagi sibuk, mahasiswa demo jadi agak sore baru adik kontak,” kata Murib pada Sabtu pagi.(*)

Reporter: Benny Mawel
Editor: Aryo Wisanggeni G

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib saat berdialog dengan rombongan mahasiswa eksodus di halaman Kantor MRP, Jayapura, Kamis (9/1/2020).  (Jubi/dok MRP)

Jayapura, PMJS NEWS – Sejumlah 146 “mahasiswa eksodus” yang telah meninggalkan pendidikannya di berbagai perguruan tinggi di luar Papua pasca kasus rasisme Papua menyatakan persoalan yang dihadapi para mahasiswa eksodus lebih serius daripada urusan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua 2020. Jika Pemerintah Provinsi Papua tidak serius menangani masalah mereka, mahasiswa eksodus mengancam akan berupaya menggagalkan PON XX Papua.

Ancaman itu disampaikan rombongan 146 orang yang menyatakan diri sebagai perwakilan mahasiswa eksodus dan mendatangani Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) pada Kamis (9/1/2020). Oskar Gie, mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang turut dalam rombongan itu meminta Gubernur Papua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, dan MRP untuk tidak mengabaikan keberadaan ratusan mahasiswa eksodus yang terlanjur pulang ke Papua.

Oskar Gie menilai Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP terlihat mengabaikan penanganan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, dan lebih sibuk mengurus persiapan penyelenggaraan PON XX Papua 2020.  “Kalau penanganan rasisme simpang-siur, kami bisa memobilisasi massa untuk membatalkan agenda macam PON,” tegas Gie.

Ia menyatakan persekusi dan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus lalu bukan persoalan biasa. Pasca kasus itu, mahasiswa Papua meninggalkan berbagai kota studi di luar Papua, seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Manado, dan Makassar. Para mahasiswa melakukan eksodus karena merasa tidak nyaman bertahan dan melanjutkan kuliah mereka.

Gie menuturkan asrama mahasiswa dan siswa asal Papua di berbagai kota studi luar Papua didatangi aparat keamanan. Sejumlah mahasiswa yang melakukan unjukrasa anti rasisme Papua juga diintimidasi, bahkan ditahan dan dipidanakan.

Unjukrasa anti rasisme Papua yang dilakukan di sejumlah kota juga kekerasan aparat keamanan. “Ada satu pelajar dan empat mahasiswa menjadi korban penembakan,” kata Gie.

Menurutnya, rentetan peristiwa itu seharusnya membuat Pemerintah Provinsi Papua serius menangani masalah rasisme terhadap orang Papua. Pemerintah Provinsi Papua bersama DPR Papua dan MRP juga harus serius menangani ratusan mahasiswa eksodus yang pulang ke Papua.  “Jumlah mahasiswa eksodus itu besar, bertahan di beberapa posko di Papua,” ujar Gie usai memberikan keterangan pers di Kantor MRP pada Kamis.

Pimpinan rombongan 146 mahasiswa eksodus yang mendatangi Kantor MRP itu, Eko Pilipus Kogoya menyatakan para mahasiswa eksodus belum kembali ke kota studi, dan masih bertahan di Papua. “Kami yang pulang dari kota studi luar Papua belum kembali, kami masih ada di sini,” kata Kogoya.

Kogoya menyatakan para perwakilan mahasiswa eksodus seharusnya membacakan pernyataan sikap mereka pada Kamis. Pernyataan sikap itu batal dibacakan karena mereka gagal bertemu Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw.

“Hari ini kami tidak membacakan [pernyataan sikap kami], karena Gubernur Papua tidak ada. Kami akan bacakan pernyataan sikap akhir di depan tiga pimpinan pada Kamis pekan depan,” kata Kogoya.

Ketua MPR Timotius Murib menyatakan MRP sebagai lembaga kultural orang asli Papua menerima kehadiran para mahasiswa eksodus itu. Murib juga berjanji akan berupaya mempertemukan para mahasiswa eksodus dengan Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua.

“Pimpinan DPR Papua ada agenda lain, dan Gubernur Papua tidak ada di tempat. Mahasiswa minta pekan depan,” kata Murib saat ditanya soal permintaan para mahasiswa bertemu Gubernur Papua dan pimpinan DPR Papua.(*)

Reporter: Benny Mawel
Editor: Aryo Wisanggeni G
READ MORE
https://www.jubi.co.id/mahasiswa-eksodus-ancam-akan-gagalkan-pon-xx-papua-2020/

Peralatan dayung tiba di mes Dayung Waene – Jubi-Humas KONI Papua

PORT NUMBAY, PMJS NEWS– Pengurus Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) Papua, pelatih dan atlet Papua patut berbangga hati setelah peralatan Dayung tiba di mess Dayung Waene, Rabu 8 Januari 2020 lalu.

Ketua harian PODSI Provinsi Papua, Ganda Siregar dalam siaran persnya, mengatakan dirinya bersama pelatih dan atlet dayung Papua menyampaikan terimakasih kepada pengurus KONI Papua atas bantuan tiga unit peralatan kepada PODSI Papua.

Ketiga peralatan tersebut, di antaranya perahu rowing Merk Winteck, Kayak dan Cano Merk Nelo. Dragon boat 20 pendayung dan Selalom serta 1 Unit Sfeed Boat.

“Luar biasa KONI Papua telah merespons dengan cepat kebutuhan peralatan dayung. Untuk itu, kami dari pengurus, pelatih dan atlet dayung menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ketua umum KONI, sekretaris umum dan bidang Sarpras,” kata Ganda Siregar, Jumat (10/1/2020).

Dengan adanya peralatan ini, kata Ganda, dapat memotivasi para atlet dayung untuk lebih bersemangat lagi latihan menyiapkan diri menghadapi PON XX tahun 2020.

“Kami semua pengurus PODSI Papua berharap semua atlet lebih fokus dan bersemangat lagi latihan sehingga perolehan hasil raihan medali di PON lebih maksimal lagi,” ujarnya.

Sebelumnya Sekum KONI Papua, Kenius Kogoya berharap pelaksaan PON di Papua dapat berjalan sesuai dengan rencana.

“Kita semua menginginkan hal yang sama, dan PON Papua adalah PON yang harus kita perjuangkan baik dari sebagai tuan rumah yang baik, juga dapat meraih prestasi sesuai dengan target,” katanya. (*)


Reporter: Roy Ratumakin
Editor: Syam Terrajana
Read More : https://www.jubi.co.id/dayung-papua-terima-peralatan-dari-koni-papua/

Author Name

{picture#https://i.pinimg.com/280x280_RS/be/8b/68/be8b68e45139a008550dd7aa0936dd3d.jpg} PMS NEWS Web Blog Share West Papuan News Updates. Follow Us in Media Social link below {facebook#https://facebook.com/PMJSNEWS/} {twitter#https://twitter.com/PmjsgNews/} {soundclout#http://ww31.soundclout.com/pmjsnews} {pinterest#https://id.pinterest.com/pmjsnews/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCs47N8GJtXOSwBnOARb7DJQ} {instagram#https://www.instagram.com/pmjsnews/}

Google ads Main JS

y
flickrbadge

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.