2020

Komisaris-Tinggi-PBB-untuk-Hak-Asasi-Manusia-Zeid-Raad-Al-Hussein-bertemu-dengan-Presiden-Indonesia-Joko-Widodo-di-Jakarta

Pemerintah Indonesia Masih Blokir Akses ke Papua

Menurut laporan The Sydney Morning Herald dan The Age, sejumlah diplomat asing diblokir aksesnya oleh pemerintah Indonesia untuk mengunjungi Papua. Keputusan untuk sementara memblokir akses untuk misi Inggris, Kanada, dan Selandia Baru serta Komisi HAM PBB ini, menggarisbawahi sensitivitas pemerintah Indonesia tentang gerakan kemerdekaan dan kekerasan baru-baru ini di provinsi Papua dan Papua Barat.


Oleh: James Massola (The Sydney Morning Herald)

Baca Juga: Pemerintah Indonesia Takut Intervensi Asing dalam Penyebaran Informasi di Papua

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah yang “tidak biasa” untuk menghalangi para diplomat asing untuk mengunjungi Papua yang tengah dilanda kerusuhan, dengan alasan kekhawatiran akan keamanan setelah terjadi kekerasan dan konflik etnis selama berminggu-minggu.

The Sydney Morning Herald dan The Age telah mengkonfirmasi para diplomat dari Kedutaan Inggris, Kanada, dan Selandia Baru, semuanya telah meminta izin Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bulan lalu untuk mengunjungi Papua. Namun, semua permintaan mereka ditolak.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia juga telah dilarang untuk mengunjungi Papua―meskipun telah diundang oleh pemerintah Indonesia pada Februari 2018. Komisi HAM PBB masih melobi untuk mendapatkan izin untuk berkunjung.

The Herald dan The Age juga mengetahui bahwa para diplomat dari Australia dan Amerika Serikat (AS) belum meminta izin dari pemerintah Indonesia untuk memasuki Papua sejak kekerasan meletus, khawatir permintaan semacam itu tidak akan disukai pemerintah Indonesia dan menyebabkan konflik diplomatik.

Keputusan untuk sementara memblokir akses untuk misi Inggris, Kanada, dan Selandia Baru serta Komisi HAM PBB ini, menggarisbawahi sensitivitas pemerintah Indonesia tentang gerakan kemerdekaan dan kekerasan baru-baru ini di provinsi Papua dan Papua Barat.

Misi diplomatik dan PBB meminta akses untuk menilai dan memahami konflik lebih jauh dan bertemu penduduk setempat untuk membahas kekerasan yang telah terjadi, di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat keamanan.

Ketika ditanya mengenai larangan itu, seorang juru bicara Kedutaan Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa permintaan untuk mengunjungi Papua telah ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Kedutaan Kanada dan Inggris juga tidak menyangkal bahwa mereka telah diblokir untuk memasuki Papua.

Seorang juru bicara Kedutaan Kanada tidak memberikan komentar lebih lanjut, sementara juru bicara Kedutaan Inggris mengatakan, “kami mendukung pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua. Kami bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk tujuan itu.”

Komisi HAM PBB mengatakan, “kami masih dalam tahap diskusi dengan pemerintah Indonesia mengenai waktu yang tepat untuk kunjungan semacam itu”.

“Kami sangat prihatin dengan eskalasi kekerasan di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia. Kami menyerukan kepada pihak berwenang untuk segera terlibat dalam dialog untuk meredakan ketegangan antar-masyarakat dan mencegah eskalasi kekerasan lebih lanjut”.


 Baca Juga: Pemerintah Indonesia Isolasi Papua dan Kekersan di Papua meningkat


Kekerasan Papua

Seorang petugas polisi Papua membawa senapan saat ia mengendalikan kerumunan setelah pengunjuk rasa membakar Pasar Buruni selama protes kekerasan di Fakfak, Papua Barat. (Foto: EPA)

Seorang petugas polisi Papua membawa senapan saat ia mengendalikan kerumunan setelah pengunjuk rasa membakar Pasar Buruni selama protes kekerasan di Fakfak, Papua Barat. (Foto: EPA)

Juru bicara Kemlu Teuku Faizasyah mengatakan, “pertimbangan keamanan menjadi perhatian utama saat ini”.

“Kami (Kemlu) mengikuti keputusan pemerintah untuk membatasi orang asing untuk mengunjungi Papua, termasuk para diplomat.”

Peneliti Human Rights Watch Indonesia Andreas Harsono mengatakan, “tidak biasa bagi diplomat asing untuk dilarang mengunjungi Papua.”


“Ada kekhawatiran mengenai keamanan, kedutaan tentu menyadari hal itu, tetapi mereka memiliki petugas keamanan mereka sendiri, orang-orang mereka sendiri, dan mereka memiliki proyek pembangunan di Papua.”

Sidney Jones, Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik, mengatakan bahwa pelarangan semacam itu “telah terjadi di masa lalu”, tetapi biasanya bukan pelarangan langsung, “pemerintah hanya tidak menanggapi permintaan untuk berkunjung”.

Kerusuhan dan bentrokan antara aparat keamanan dan pendukung kemerdekaan Papua dimulai pada bulan Agustus, dan merupakan kekerasan terburuk di provinsi tersebut dalam beberapa dekade.

Kekerasan ini telah menyebabkan 33 orang tewas, terbakarnya ratusan rumah dan bisnis, penangkapan, pemblokiran internet untuk sementara, dan mengungsinya 8.000 orang lebih―beberapa sumber mengatakan jumlah pengungsi mencapai 55.000 orang.

Ribuan polisi dan tentara tambahan diterbangkan untuk menghentikan kekerasan. Human Rights Watch telah menyerukan penyelidikan atas tewasnya puluhan korban di sana.

Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne baru-baru ini mengatakan bahwa pemerintah Australia sangat khawatir dengan kekerasan di Papua, dan mendesak “kedua belah pihak untuk menahan diri”.


Selama beberapa dekade, akses ke Papua oleh wartawan asing telah dikontrol dengan ketat.


Menko Polhukam Wiranto baru-baru ini mengumumkan pelarangan yang lebih luas terhadap kelompok asing karena situasi keamanan―meskipun ia tidak menyebutkan secara spesifik siapa.


Pemerintah Indonesia meyakini bahwa Papua telah memilih untuk menjadi provinsi Indonesia dalam referendum “Penentuan Pendapat Rakyat” tahun 1969.


Tetapi para pendukung kemerdekaan berpendapat bahwa referendum itu palsu, dan mereka menuntut referendum kemerdekaan, seperti yang diberikan kepada Timor Timur pada tahun 1999.


Tokoh-tokoh senior dalam pemerintahan Indonesia termasuk Wiranto―yang ironisnya merupakan Menteri Pertahanan ketika Timor Timur memilih kemerdekaan―telah menolak pengadaan referendum kemerdekaan.


Peran sentral Australia dalam peristiwa-peristiwa menjelang kemerdekaan Timor Timur masih menjadi isu sensitif bagi sebagian orang di pemerintahan Indonesia.


James Massola adalah koresponden Asia Tenggara yang berbasis di Jakarta. Dia sebelumnya adalah koresponden politik utama, berbasis di Canberra. Dia telah menjadi finalis Walkley and Quills pada tiga kesempatan, memenangkan Penghargaan Kennedy untuk koresponden asing yang luar biasa dan penulis “The Great Cave Rescue”.


Keterangan foto utama: Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad Al Hussein bertemu dengan Presiden Indonesia Joko Widodo di Jakarta, 6 Februari 2018. (Foto: Reuters)




Best Diving sites in Raja Ampat

I dived there!
Have you been diving here? Rate it!
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars
(116 votes, 3.44/5)


If you have dived in Raja Ampat before, please share your experiences: Dive spots you would recommend, which Dive Center you used, Fishes & Diving, Visibility, Currents, etc. Please post your comments in the section below, by doing so you will help fellow divers to plan their next trip ;)
Raja Ampat has been described by many scientists as the richest place for Marine life on Earth. The biodiversity is just amazing with weird and rare underwater creatures everywhere you look. Many new species have been discovered over the last few years in the archipelago.
Raja Ampat is like heaven for underwater photography with magnificent hard and soft coral, clear water and a teeming reef life. These islands are very rich in macro life with just about all of the kind of critters you can dream of!
The Raja Ampats are also great for big fish action with pelagic fishes everywhere such as the Giant Trevally or the Dogtooth Tuna. You can spot many Sharks too, mainly Blacktip and Whitetip reef Sharks but also the strange and beautiful Wobbegong Shark.
Manta Rays are common too and there are amazing dive sites such as Manta Ridge and Manta Sandy to spot them! The very rare dugong has been spotted several times too. From the boat it is not rare to see dolphins playing or a whale passing by ;-)
In this page you will find more detailed information about scuba diving in Raja Ampat.
Table of contents
  • Photos Raja Ampat
  • How to dive Raja Ampat ?
  • Where to stay?
  • Best time to dive
  • Conditions
  • Snorkelling
  • Diving Safety
  • Raja Ampat Travel Guide
  • Best dive spots
  • Divers' Reviews

Photos Raja Ampat

How to dive Raja Ampat?

Liveaboard or Dive Resort?
There are over 1500 Islands in the Raja Ampat archipelago! With a Liveaboard, you can visit many Islands and you can explore the Northern part of the Archipelago with the stunning Island of Wayag. In addition, you can visit several wrecks from WWII such as the superb P-47D Thunderbolt located near Way Island. I usually use this website to book in advance my liveaboards in Indonesia as they usually have the lowest rates I find. I like it because they have an easy booking system.
liveaboard is more expensive than for example the Kri Eco Resort from Papua Diving. The best diving is actually in the central part of the Raja Ampats, and most of the Liveaboards will go dive spots around the Sorido bay resort and the Kri eco resort, at least as the beginning of the cruise.
For the resorts, you will have the choice between:
  • Kri Eco Resort
  • Sorido Bay Resort
  • Misool Eco resort
  • Raja Ampat dive lodge
There are also a few homestays on some Islands in the southern part of the Archipelago.

Where to stay?

I usually use this website to book in advance my hotels in Raja Ampat as they usually have the lowest rates I find. I like it because it's free to cancel and change the dates.

Book an amazing Liveaboard holiday trip or a Dive Resort

Best time to dive in Raja Ampat

Diving in Raja Ampat is excellent all year round. As the number of divers coming to this remote area is very small, there is no “high season”.
The climate is tropical with hot and humid air. The weather is sunny all year with some rainy days. From May to September, there is more rain than the other months but nothing too bad.

Credit

Top liveaboards in Raja Ampat according to divers reviews



Alila Purnama ⇒ Check prices

MS Wellenreng ⇒ Check prices

Scuba Diving conditions

The conditions are usually very good. The water temperature is about 28 °C all the year.
Visibility is not outstanding, but you can expect from 10 to 30 meters depending on the dive site.
The current varies from none to very strong depending on the location. Many dives are drift diving, for example the spot called the Passage is really impressive when the current is fierce!
The depth ranges from 10 m to 40 m and most of the dives are quite easy but due to the remoteness of the islands, this destination is more suitable for experienced divers.
Raja Ampat Island
Photo Credit: http://www.flickr.com/photos/elsaw/5555624219/

Snorkelling in Raja Ampat

Raja Ampat offers excellent snorkelling opportunities with many superb and shallow coral gardens. For example, in front of the Kri Eco resort, and the Sorido Bay Resort, there is an amazing house reef to explore where you can find superb coral, turtles and juvenile blacktip reef sharks!

Diving Safety

If you are planning an upcoming dive trip or travelling to Raja Ampat, it is a really good idea to invest in travel insurance for scuba diving, because you never know what could happen and when you might need it (because accidents do happen!). I recommend this diving insurance as they offer worldwide coverage and focus on providing scuba divers a quality insurance and medical assistance service.
The number of dive sites is still unknown as most parts of the Raja Ampat Islands are still unexplored. The best known dive spots are the following ones:
  • Manta Ridge
  • Cape Kri
  • Manta Sandy
  • Cross Wreck
  • Fabiacet
  • Farond Island
  • Jef Fam Group
  • Kaleidoscope
  • The passage
  • Mike’s Point
  • Melissa Point
  • Sel Pele Bay

Travel Guide

Now that you know all about the underwater world, you might want to start planning your scuba holiday! Check out our Raja Ampat Travel Review for information about how to get there, activities and excursions, where to stay, and more.

ARKEOLOG: ORANG PAPUA ANAK SULUNG DI WILAYAH INDONESIA DAN MASYARAKAT INDONESIA ADALAH PENDATANG


Arkeolog Dr. Harry Widianto usai diskusi Jejak Manusia Nusantara di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (5/11) (ANTARA/Prisca Triferna)

JAKARTA, PMJS-NEWS - Arkeolog Dr. Harry Widianto menyebut orang Papua adalah "anak sulung" dari bangsa yang kini mendiami wilayah modern yang sekarang disebut sebagai Indonesia karena nenek moyangnya adalah yang tertua datang ke daerah tersebut.
"Kalau kita bangsa Indonesia sekarang, yang paling sulung adalah orang-orang Papua. Indonesia bagian barat adalah pendatang dari China dan Taiwan. Lalu sekarang yang disebut pribumi itu apa? Karena pribumi itu orang Papua" ujar Harry ketika menjadi narasumber dalam diskusi Jejak Manusia Nusantara dan Peninggalannya di Museum Nasional, Jakarta Pusat pada Selasa (5/11).

Ia mengatakan ini berdasarkan fakta bahwa nenek moyang dari orang Papua adalah yang pertama datang ke wilayah nusantara saat zaman pra-sejarah.

Semua dimulai ketika nenek moyang manusia modern atau Homo sapiens keluar dari benua Afrika sekitar 150.000 tahun yang lalu, menyebar sampai dari timur Indonesia dan menetap hingga keturunannya memiliki ciri yang sama. Mereka masuk dalam ras yang disebut sebagai ras Melanesia.
Sementara itu, sebagian besar suku-suku yang berada di barat Indonesia adalah berasal dari ras Mongoloid yang diperkirakan bergerak dari Fujian di China modern sekitar 7.000 tahun lalu. Kelompok itu bergerak ke Taiwan menjadi populasi yang besar dan dari sana menyebar ke daerah lain hingga sampai ke Indonesia dan kini dikenal sebagai suku bangsa Austronesia.

Baca Juga: Saban sampai Merauke Milik Ras Melanesia, tetapi punah ketika Melayu  datang dikemudian masa
Mereka memiliki ciri yaitu pertanian awal dan menjinakkan tumbuhan dan binatang. Mereka adalah pelaut yang sangat ulung, melakukan pergerakan dari pulau ke pulau sambil memperkenalkan pertanian.
" Harus bisa membedakan antara ras dan etnis. Ras adalah berdasarkan fakta biologis, genetika yang berada di dalam tubuh sementara suku dan etnis adalah bentukan dari budaya," kata Harry dari Balai Arkeolog Yogyakarta itu, dalam acara yang digawangi majalah sejarah daring Historia.
Oleh karena itu untuk memutuskan suku bangsa apakah yang menjadi "pribumi" Indonesia sendiri akan sangat sulit, karena dari penilaian biologis sendiri sudah terjadi pencampuran.


Sumber:Antara
Editor:Misba


ID.

Apa yang Dipertaruhkan di Papua Barat

Dr Mark Busse dan Sophie Faber memeriksa sejarah Papua Barat untuk melihat apa yang dipertaruhkan secara politik dan ekonomi dalam kerusuhan saat ini

Para pengunjuk rasa di Papua Barat membakar sebuah gedung pertemuan regional. Foto: Getty Images


Papua Barat telah di media lebih dari biasanya selama enam bulan terakhir, dengan cerita tentang protes adat terhadap rasisme dan penindasan, tuntutan untuk kemerdekaan, polisi Indonesia yang brutal dan tindakan keras militer, dan pelarangan jurnalis asing. Namun, banyak orang tahu sedikit tentang Papua Barat, wilayah yang lebih besar dari Jerman dengan populasi 3,5 juta. Dalam artikel ini, kami memberikan pengantar singkat ke Papua Barat, dengan fokus pada latar belakang sejarah situasi saat ini dan apa yang dipertaruhkan secara politik dan ekonomi dalam kerusuhan saat ini.

Nama "Papua Barat" itu sendiri dapat membingungkan, dan bagaimana nama ini digunakan adalah tindakan politik. Namanya mengacu pada bagian barat pulau New Guinea, tepat di utara Australia. Bagian timur pulau ini adalah bagian dari Papua Nugini, yang merdeka dari Australia pada tahun 1975. Bagian barat Papua, saat ini bagian dari Indonesia, telah memiliki berbagai nama selama 125 tahun terakhir — Belanda Nugini, Nugini Barat , Irian Barat, Irian Jaya, dan Papua. Sejak 2007, Papua Barat telah menjadi dua provinsi yang terpisah — Papua (sebagian besar bagian barat Pulau Papua) dan Papua Barat (ujung pulau paling barat). Namun, para aktivis kemerdekaan dan para pendukung mereka menyebut seluruh bagian barat pulau itu sebagai “Papua Barat”, dan itulah bagaimana kami akan menggunakan nama itu dalam artikel ini.

Melihat sekilas peta pulau itu menunjukkan kesewenang-wenangan banyak batas politik, yang mencerminkan sejarah kolonial New Guinea. Banyak dari ini adalah garis lurus; tertarik oleh orang Eropa yang tidak tahu apa-apa tentang daerah yang mereka bagi, dan yang tidak ada hubungannya dengan medan atau kepentingan orang-orang yang tinggal di sepanjang perbatasan itu. Kesewenang-wenangan ini terutama berlaku untuk perbatasan internasional 820km antara Papua Nugini dan Indonesia.

Orang-orang telah tinggal di Papua selama sekitar 50.000 tahun. Sementara gambar-gambar populer Barat tentang Papua adalah primitif dan terisolasi, orang-orang Papua memiliki sejarah panjang inovasi dan telah terhubung dengan bagian lain dunia untuk waktu yang lama. Wilayah dataran tinggi yang sekarang Papua Nugini adalah salah satu tempat pertama di dunia di mana orang berlatih pertanian, dimulai sekitar 9.000 tahun yang lalu. Tebu pertama kali didomestikasi di dataran rendah Papua sekitar 8.000 tahun yang lalu, dan bulu-bulu burung cendrawasih dari Papua digunakan sejak 2000 tahun yang lalu.

Kolonisasi Eropa di Papua Barat dimulai dengan sungguh-sungguh pada tahun 1828 ketika Belanda mengklaim kedaulatan atas Papua Barat di sebelah barat 141 ° bujur timur. Klaim ini dibuat sebelum orang Belanda, atau orang Eropa lainnya, yang mengunjungi pedalaman Papua, dan dibuat tanpa adanya pengetahuan Barat tentang orang-orang yang tinggal di, atau dekat, meridian ke-141.

Selama abad ke-19 dan awal ke-20, Belanda mempertahankan beberapa pos terdepan di pesisir Papua Barat. Kemudian, antara tahun 1928 dan 1942, otoritas kolonial Belanda memenjarakan sekitar 1.000 nasionalis Indonesia di dekat hulu Sungai Digul, sebuah daerah terpencil di Papua Barat yang sebagian besar terputus dari dunia luar dan terkenal karena malaria endemik. Akibatnya, kamp penjara ini, dan Papua Barat lebih umum, menjadi bagian dari narasi kemerdekaan Indonesia.

Indonesia menyatakan kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1945, tetapi butuh empat tahun konflik bersenjata sebelum Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sebagai bagian dari perjuangannya, Indonesia menegaskan klaim politik untuk Papua Barat, yang ditolak Belanda. Pada tahun 1950, sebuah komite pejabat Indonesia dan Belanda, tetapi tidak ada orang Papua Barat, bertemu untuk menentukan nasib Papua Barat. Indonesia berpendapat bahwa semua wilayah kolonial Belanda secara historis bagian dari Indonesia yang lebih besar, klaim yang ditolak Belanda. Mereka berpendapat bahwa orang Papua berbeda ras dan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Sementara banyak negara sepakat dengan Belanda, Amerika Serikat, yang peduli untuk mempertahankan Indonesia pada pihak mereka dalam Perang Dingin, mendesak Belanda untuk menyetujui tuntutan Indonesia.

Pada tahun 1961, setelah sepuluh tahun negosiasi yang tidak meyakinkan, Dewan Papua, yang terdiri dari orang Papua Barat, menyatakan kemerdekaan dan mengadopsi bendera Bintang Kejora, yang pertama kali dinaikkan pada tanggal 1 Desember 1961. Bendera ini telah menjadi simbol yang kuat bagi orang Papua Barat , banyak dari mereka telah diserang atau dipenjara selama bertahun-tahun karena meningkatkannya. Menanggapi deklarasi kemerdekaan, Indonesia melancarkan kampanye militer yang gagal untuk "mendapatkan kembali" Papua Barat dari Belanda pada tahun 1962. Pada tahun yang sama, Belanda setuju untuk administrasi PBB Papua Barat dengan pemahaman bahwa referendum tentang masa depan Papua Barat akan diadakan sebelum akhir 1969.

Pada tanggal 2 Agustus 1969, sebuah "Tindakan Pilihan Bebas" diselenggarakan oleh militer Indonesia di bawah pengawasan PBB. Daripada referendum orang Papua Barat, yang merupakan apa yang direncanakan PBB, konsultasi diadakan dengan 1025 pemimpin Papua Barat yang, di bawah pengawasan ketat militer Indonesia, dipaksa dengan todongan senjata dan melalui angkat tangan untuk dengan suara bulat menyetujui mereka integrasi negara dengan Indonesia. Terlepas dari argumen Ghana dan negara-negara Afrika lainnya untuk referendum baru, Majelis Umum PBB mengesahkan penggabungan Papua Barat ke Indonesia, ironisnya atas nama dekolonisasi dan stabilitas regional.

Dari tahun 1969 hingga saat ini telah terjadi perlawanan bersenjata oleh kelompok-kelompok yang mencari kemerdekaan, dan diperkirakan 100.000 orang Papua Barat telah terbunuh dalam kekerasan yang terjadi kemudian. Indonesia telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan militer terhadap warga sipil yang mengadvokasi kemerdekaan atau mengungkapkan simpati terhadap pemberontak. Orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora dipenjara karena pengkhianatan. Indonesia memerintah Papua Barat sebagai negara polisi, termasuk melarang wartawan internasional. Pada 2010, 13.500 pengungsi Papua Barat tinggal di pengasingan di Papua Nugini.

Apa yang dipertaruhkan dalam perjuangan melawan Papua Barat ini? Mengapa Indonesia tidak mau membiarkan orang Papua menggunakan hak menentukan nasib sendiri? Sebagian besar jawabannya berkaitan dengan sumber daya ekonomi dan tanah Papua yang sangat besar.

Ketika Belanda mengklaim kedaulatan pada tahun 1828, mereka tahu sedikit tentang potensi ekonomi Papua Barat. Namun, selama abad terakhir, sumber daya yang sangat besar di Papua Barat menjadi lebih jelas. Akses ke sumber daya telah menjadi faktor utama yang mendorong kepentingan Belanda, Indonesia, dan Amerika di Papua Barat sejak tahun 1945. Sumber daya itu meliputi beberapa deposit emas dan tembaga terbesar di dunia, deposit minyak dan gas yang besar, hutan yang luas, dan tanah itu sendiri.

Tambang Grasberg, yang dimiliki bersama oleh pemerintah Indonesia dan perusahaan pertambangan AS Freeport-McMoRan, memiliki cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar kedua di dunia. Cadangan minyak dan gas Papua Barat yang besar dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan Inggris, Cina, dan Jepang. Papua Barat memiliki lebih dari 10 juta hektar hutan hujan tropis di mana Indonesia telah memberikan konsesi penebangan. Setelah hutan ditebangi, tanah tersebut digunakan untuk menanam makanan dan mengekspor tanaman komersial, terutama kelapa sawit. 

Selain pertanian industri, tanah di Papua Barat berharga untuk memukimkan orang-orang dari daerah padat penduduk lainnya di Indonesia. Pada tahun 1970, penduduk asli Papua Barat 90 persen dari populasi. Pada 2010, mereka kurang dari setengah populasi. Meskipun sumber daya alamnya menguntungkan, ketersediaan lahan untuk pemukiman kembali merupakan salah satu motivasi terbesar bagi oposisi Indonesia terhadap penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat. Dengan 20 persen dari daratan Indonesia, Papua Barat memiliki kurang dari dua persen dari populasi Indonesia, dan Indonesia melihat ini sebagai hal penting untuk menyelesaikan masalah populasinya.

Peristiwa kekerasan baru-baru ini di Papua Barat merupakan kelanjutan dari perjuangan panjang melawan rasisme dan kolonialisme. Hanya sedikit keuntungan dari sumber daya alam yang mengalir ke Papua Barat. Sebaliknya, orang Papua Barat telah diusir dari tanah mereka, menjadi sasaran rasisme brutal, dan diperlakukan seperti orang asing di tanah mereka sendiri. Tragedi adalah bahwa Indonesia, yang memiliki pengalaman pemberontakan dan pemberontakan melawan kolonialisme Belanda sendiri, tidak dapat mengidentifikasi diri dengan perjuangan anti-kolonial Papua Barat saat ini dan yang sedang berlangsung.

______________________________________________________
ING

What’s at stake in West Papua

Dr Mark Busse and Sophie Faber examine West Papua's history to see what's at stake politically and economically in the current unrest


West Papua has been in the media more than usual over the last six months, with stories about indigenous protests against racism and repression, demands for independence, brutal Indonesian police and military crackdowns, and the banning of foreign journalists. 

And yet, many people know little about West Papua, a territory larger than Germany with a population of 3.5 million. In this article, we provide a brief introduction to West Papua, focusing on the historical background to the present situation and what is at stake politically and economically in the current unrest.

The name “West Papua” can itself be confusing, and how this name is used is a political act. The name refers to the western half of the island of New Guinea, just north of Australia. The eastern half of the island is part of Papua New Guinea, which became independent from Australia in 1975. The western half of New Guinea, currently part of Indonesia, has had various names over the last 125 years—Netherlands New Guinea, West New Guinea, West Irian, Irian Jaya, and Papua. Since 2007, West Papua has been two separate provinces—Papua (most of the western half of New Guinea) and West Papua (the westernmost tip of the island). Independence activists and their supporters, however, refer to the entire western half of the island as “West Papua”, and that is how we will use the name in this article.

A quick look at a map of the island shows the arbitrariness of many political boundaries, reflecting the colonial histories of New Guinea. Many of these are straight lines; drawn by Europeans who knew little to nothing about the areas they were dividing, and which have nothing to do with terrain or the interests of the people who live along those boundaries. This arbitrariness is especially true of the 820km international border between Papua New Guinea and Indonesia.

People have lived in New Guinea for approximately 50,000 years. While Western popular images of New Guinea are of primitiveness and isolation, the people of New Guinea have long histories of innovation and have been connected with other parts of the world for a long time. The Highlands region of what is now Papua New Guinea was one of the first places in the world where people practiced agriculture, beginning about 9,000 years ago. Sugar cane was first domesticated in lowland New Guinea approximately 8,000 years ago, and bird of paradise feathers from New Guinea were used in China as long as 2,000 years ago.

European colonisation of West Papua began in earnest in 1828 when the Dutch claimed sovereignty over New Guinea west of 141° east longitude. This claim was made prior to any Dutch, or other European, person visiting the interior of New Guinea, and was made in the absence of any Western knowledge concerning the people who lived on, or near, the 141st meridian.

During the 19th and early 20th centuries, the Dutch maintained a few outposts on the coasts of West Papua. Later, between 1928 and 1942, Dutch colonial authorities imprisoned about 1,000 Indonesian nationalists near the headwaters of the Digul River, a remote area of West Papua largely cut off from the outside world and notorious for endemic malaria. As a result, this prison camp, and West Papua more generally, became part of the Indonesian independence narrative.

Indonesia declared independence from the Netherlands in 1945, but it took four years of armed conflict before the Netherlands recognised Indonesia’s independence. As part of its struggle, Indonesia asserted a political claim to West Papua, which the Netherlands rejected. In 1950, a committee of Indonesian and Dutch officials, but no West Papuans, met to determine West Papua’s fate. Indonesia argued that all Dutch colonial territory was historically part of greater Indonesia, a claim the Dutch rejected. They argued that West Papuans were racially distinct and had a right to self-determination. While many countries agreed with the Dutch, the United States, concerned to keep Indonesia on their side in the Cold War, pressed the Dutch to acquiesce to Indonesia’s demands.

In 1961, after ten years of inconclusive negotiations, the New Guinea Council, made up of West Papuans, declared independence and adopted the Morning Star flag, which was first raised on December 1, 1961. This flag has become a powerful symbol for West Papuans, many of whom have been attacked or imprisoned over the years for raising it. In response to the declaration of independence, Indonesia mounted an unsuccessful military campaign to “regain” West Papua from the Dutch in 1962. The same year, the Dutch agreed to UN administration of West Papua with the understanding that a referendum on West Papua’s future would be held before the end of 1969.

On August 2,1969, an “Act of Free Choice” was organised by the Indonesian military under UN supervision. Rather than a referendum of West Papuan people, which was what the UN planned, consultations were held with 1025 West Papuan leaders who were, under the watchful eye of the Indonesian military, forced at gunpoint and through a show of hands to unanimously agree to their country’s integration with Indonesia. Despite arguments by Ghana and other African countries for a new referendum, the UN General Assembly endorsed the incorporation of West Papua into Indonesia, ironically in the name of decolonisation and regional stability.

From 1969 until today there has been ongoing armed resistance by groups seeking independence, and it is estimated that 100,000 West Papuans have been killed in the ensuing violence. Indonesia has been accused of human rights abuses, including military attacks on civilians advocating for independence or expressing sympathy toward rebels. People who raise the Morning Star flag are jailed for treason. Indonesia governs West Papua as a police state, including banning international journalists. As of 2010, 13,500 West Papuan refugees live in exile in Papua New Guinea.

What is at stake in these struggles over West Papua? Why is Indonesia unwilling to allow West Papuans to exercise their right of self-determination? Much of the answer has to do with West Papua’s huge economic and land resources.

When the Dutch claimed sovereignty in 1828, they knew little about the economic potential of West Papua. Over the last century, however, the enormous resources of West Papua have become clearer. Access to resources has been a major factor driving Dutch, Indonesian, and American interests in West Papua since 1945. Those resources include some of the world’s largest gold and copper deposits, large oil and gas deposits, vast forests, and the land itself.

The Grasberg mine, jointly owned by the Indonesian government and the US mining company Freeport-McMoRan, has the world’s largest gold reserves and the world’s second largest copper reserves. West Papua’s large oil and gas deposits are being exploited by British, Chinese, and Japanese companies. West Papua has more than 10 million hectares of tropical rainforest for which Indonesia has granted logging concessions. After the forests are removed, the land is used to grow food and export cash crops, especially oil palm. 

In addition to industrial agriculture, land in West Papua is valuable for resettling people from other densely-populated parts of Indonesia. In 1970, indigenous West Papuans were 90 percent of the population. By 2010, they were less than half of the population. As lucrative as the natural resources are, it is the availability of land for resettlement that provides one of the biggest motivations for Indonesia’s opposition to West Papuan self-determination. With 20 percent of Indonesia’s landmass, West Papua has less than two percent of Indonesia’s population, and Indonesia sees this as critical to solving its population problem.

The recent violent events in West Papua are a continuation of a long struggle against racism and colonialism. Few profits from natural resources have gone to West Papuans. Instead, West Papuans have been evicted from their lands, subjected to brutal racism, and treated like foreigners in their own lands. The tragedy is that Indonesia, which has its own experience of rebellion and revolt against Dutch colonialism, cannot identify with the current and ongoing anti-colonial struggles of West Papuans.

Ilustrasi kantor LBH Papua – PMJSNEWS/Facebook LBH Papua.

JAYAPURA, PMJS NEWS - K Jubi – Sejumlah anggota kepolisian mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua di Jalan Gerilyawan nomor 46, Distrik Abepura, Kota Jayapura pada Selasa (14/1/2020).

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay kepada Jubi mengatakan sejumlah polisi yang diduga dari Polda Papua dan Polsek Abepura tersebut datang ke kantor LBH Papua mencari oknum mahasiswa eksodus bernama Oskar Gie. Akan tetapi saat datang ke kantor LBH Papua, para personel polisi tersebut tidak menunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan.



“Informasi dari staf LBH polisi datang untuk menangkap Oskar Gie, salah satu mahasiswa eksodus yang kemarin sempat ke Kantor Perhimpunan Advokasi Kebijakan dan Hak Asasi Manusia (PAK-HAM) Papua dan melarang beberapa mahasiswa eksodus yang mau pulang ke kota studi dan menyatakan kepada direktur Pak HAM kalau pendataan yang mereka lakukan ilegal,” kata Emanuel Gobay, Selasa (14/1/2020).

Menurutnya, saat mendatangi kantor PAK HAM Papua akhir pekan lalu menolak pemulangan beberapa mahasiswa eksodus lain ke kota studi oleh PAK HAM Papua, mahasiswa yang menolak sempat merekam suasana sekitar. Oskar Gie kemudian mengunggah rekaman video tersebut ke akun Facebooknya, dan rekaman video itu dilihat polisi.

“Ada satu pernyataan di situ yang menurut polisi menghina sehingga mereka datang ke kantor LBH untuk menangkap Oskar Gie.
Salah satu kepala divisi di LBH menerima para polisi ini menanyakan apakah ada surat tugas dan surat penangkapan, tapi tidak ditunjukkan. Ia meminta polisi membuat surat panggilan klarifikasi kepada Oskar Gie sesuai prosedur,” ujarnya.

Emanuel Gobay menyesalkan sikap anggota kepolisian yang datang ke kantor LBH Papua dalam jumlah cukup banyak, namun tidak menunjukkan surat perintah tugas dan penangkapan. Sikap itu dinilai tidak estis karena penegak hukum datang ke kantor lembaga hukum dengan cara seperti itu.

“Saya kalau ke Polda menunjukkan kartu advokat dan surat kuasa sebagai bentuk penghargaan etika profesi dan menghargai kepolisian. Tapi itu tidak dilakukan anggota polisi yang datang ke kantor LBH. Itu sama saja tidak menghargai etika profesi,” ucapnya.

Ia berharap Kapolda Papua dan Kapolsek Abepura menegakkan profesionalisme dalam kepolisian khususnya kepada anggota polisi yang datang ke kantor LBH.

Kapolda Papua diminta mendidik anggotanya yang datang ke kantor LBH tanpa surat tugas dan surat perintah penangkapan.

“Oskar Gie dijadwalkan akan datang ke Polda Papua memberikan klarifikasi disampingi LBH Papua pada 17 Januari 2020,” katanya.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal ketika dikonfirmasi Jubi melalui aplikasi pesan terkait kedatangan polisi ke kantor LBH Papua belum memberikan jawaban. Yang bersangkutan belum membaca pesan yang dikirim Jubi kepadanya.

Akan tetapi sehari sebelumnya, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw kepada media menyatakan akan menindak tegas dan mencari pihak yang berupaya menghalangi pemulangan para mahasiswa eksodus ke berbagai kota studi.

Menurut Kapolda Papua, jika para mahasiswa eksodus tidak kembali ke kota studi, sebagain besar akan drop out dari kampus.

“Sudah empat kali proses pemulangan mahasiswa ke kota studi dihalangi pihak tertentu. Selanjutnya, pada proses pemulangan mahasiswa eksodus ke kota studi akan berjalan aman,” kata Irjen Pol Paulus Waterpauw. (*)

Reporter: Arjuna Pademme
Editor: Edho Sinaga
Read More 
https://www.jubi.co.id/cari-oknum-mahasiswa-eksodus-polisi-datangi-kantor-lbh-papua-tanpa-surat-tugas/

Persidangan terhadap salah seorang terdakwa pengunjuk rasa antirasisme di Deiyai, Selasa (14/1/2020) – Jubi/Titus Ruban.

NABIRE, PMJS NEWS - Sidang pembuktian terus berlanjut atas Penangkapan Korban Demontrasi Anti Raisme di Deiyai dan dijadikan tersangka oleh Polres Paniai, seperti yang diberitakan melalui Jubi – Majelis hakim memutuskan melanjutkan sidang perkara unjuk rasa antirasisme di Deiyai. Mereka menolak seluruh eksepsi yang diajukan penasihat hukum terdakwa sehingga memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) melanjutkan ke proses pembuktian.

”Kita akan lanjutkan di sidang pembuktian, pekan depan.  Kami akan berupaya untuk menghadirkan semua hakim agar perkara ini segera diputuskan,” kata Hakim Erent Jannes Ulean, Selasa (14/1/2020).

Ketua Pengadilan Negeri (PN) Nabire tersebut memimpin sidang terhadap terdakwa Alex Pakage, Stefanus Goo, Melianus Mote, dan Simon Petrus Ukago. Majelis hakim yang dipimpin Rifin Nurhakim Saetapi, sebelumnya juga menolak eksepsi terhadap Yuven Pekei, dan Andreas Douw, terdakwa dalam perkara yang sama.

Hakim dalam putusan sela menolak eksepsi penasihat hukum yang mendalilkan bahwa sidang terhadap Douw tidak bisa dilanjutkan karena terdakwa masih di bawah umur. Ketentuan itu merujuk kepada Undang Undang Perlindungan Anak.

Argumen penasihat hukum tersebut dimentahkan majelis hakim. Mereka memastikan terdakwa Douw saat disidangkan telah berusia lebih dari 18 tahun sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai anak.

Meskipun merasa keberatan, penasihat hukum terdakwa menyatakan dapat menerima dan menghormati putusan sela tersebut. Menurut mereka, pada prinsipnya keputusan itu merupakan kewenangan hakim.

“Hakim beralasan terdakwa sudah berumur 18 tahun lebih beberapa bulan sehingga bisa menggunakan mekanisme sidang biasa (bukan persidangan anak). Ini saya sangat sesalkan,” kata Emanuel Gobay, anggota tim penasihat hukum, seusai persidangan.

Ada tiga persidangan yang digelar dalam perkara Unjuk Rasa Antirasisme Deiyai di PN Nabire, hari ini. Sidang lainnya ialah terhadap terdakwa Steven Pigai, Mikael Bukega, dan Yos Iyai. Namun, persidangan mereka ditunda karena dua anggota majelis hakim tidak hadir.

Baca Juga : Peserta Demontrasi Damai Anti Rasisme Deiyai yang Dijadikan Tersangka Oleh Polres adalah Korban Kriminalisasi.

JPU mendakwa para pengujuk rasa dengan pasal berlapis dan diajukan melalui sembilan berkas terpisah. Sebanyak enam orang didakwakan dengan Pasal 1 dan 2 UU Darurat Nomor 12 tahun 1955 junto Pasal 212, dan Pasal 213 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun tiga lainnya didakwakan dengan Pasal 160 junto Pasal 55 KUHP.

Pasal 1 dan 2 UU Darurat Nomor 12 tahun 1955 memuat delik kepemilikan senjata tajam dan senjata api. Sementara itu, Pasal 212, dan Pasal 213 KUHP tentang tindak kekerasan, perlawanan, dan penyerangan terhadap aparat pemerintah. Adapun Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, dan Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana.

JPU menyatakan mereka mengupayakan menghadirkan ahli pidana, dan Bahasa Indonesia dalam sidang pembuktian terhadap terdakwa penghasutan dengan tuduhan makar, Kamis pekan depan. Kehadiran para ahli untuk menjelaskan makna referendum dalam pernyataan sikap saat unjuk rasa para terdakwa, 28 Agustus tahun lalu.

“Kehadiran ahli demi kepentingan pembuktian (dakwaan). Bahasa (istilah) referendum, harus ahli yang menjelaskannya,” kata anggota tim JPU Arnes Tomasila, seusai sidang. (*)


Reporter: Titus Ruban
Editor: Aries Munandar

Read More 
https://www.jubi.co.id/sidang-unjuk-rasa-antirasisme-deiyai-berlanjut-ke-pembuktian/

Bupati Deiyai, Ateng Edowai, S.Pdk, MM (kiri) dan Ketua DPRD Deiyai,Petrus Badokapa, S.Th (kanan)

DEIYAI, PMJS NEWS – RAZIAH Atribut Adat Papua seperti pakaian adat Koteka, Moge, Noken, serta atribut budaya Papua lainnya dilakukan oleh TNI dan POLRI sejak Demonstrasi Damai Penolakan Rasisme Indonesia terhadap Papua yang diciptakan berdarah hingga kini belum berhenti.

sepertiyang diberitakan melalui Jubi.co.id, Bupati Deiyai, Ateng Edowai meminta kepada aparat keamanan TNI dan Polri di daerah Tigi (Deiyai), agar menghentikan razia dan penyitaan noken yang dianyam dari kulit kayu, anak panah, busur dan sejenisnya.

Hal itu, menurut Ateng, akan memperpanjang trauma masyarakatnya. Sebab, selama ini masyarakat melapor kepadanya bahwa razia dilakukan di tempat umum seperti pasar dan Terminal Waghete, ibu kota Deiyai.



“Saya minta penyitaan atribut adat kami suku Mee harus dihentikan. Saya mohon Pak Kapolres Deiyai yang baru dan Perwira Penghubung memperhatikan hal ini,” ujar Ateng Edowai dalam sambutan acara Natal bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deiyai, TNI, Polri dan masyarakat di Deiyai, Selasa (14/1/2020).

Lanjut bupati, razia itu memang merupakan tanggung jawab aparat keamanan, namun ia meminta jangan sampai berlebihan dan tidak boleh menakut-nakuti masyarakat.

“Sengaja kami melaksanakan Natal gabungan supaya pemerintah, TNI, Polri, dan masyarakat bebas beraktivitas. Untuk menjaga kamtibmas Deiyai menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama,” ucapnya.

Menurutnya, jika aparat keamanan berkeinginan agar masyarakat melepaskan atribut-atribut tertentu, mestinya pihak TNI dan Polri mendatangi bupati agar bisa menyerukan pelarangan penggunaan atribut tersebut.

“Kapolres dan Dandim itu unsur pimpinan, pasti bangun komunikasi di tingkat pimpinan daerah. Jadi jangan turun ke tengah-tengah masyarakat tanpa sepengetahuan bupati. Saya tegaskan masyarakat saya tidak boleh ditakut-takuti dengan model apa pun,” ujarnya.

Kapolres Deiyai, AKBP Bambang Budianto mengatakan pihaknya tetap melakukan pendekatan-pendekatan secara manusiawi, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

“Tentu kita lindungi dengan tugas kita masing-masing,” ucapnya. (*)


Reporter: Abeth You
Editor: Kristianto Galuwo

Read More
https://www.jubi.co.id/bupati-deiyai-minta-tni-dan-polri-tak-razia-atribut-adat

Author Name

{picture#https://i.pinimg.com/280x280_RS/be/8b/68/be8b68e45139a008550dd7aa0936dd3d.jpg} PMS NEWS Web Blog Share West Papuan News Updates. Follow Us in Media Social link below {facebook#https://facebook.com/PMJSNEWS/} {twitter#https://twitter.com/PmjsgNews/} {soundclout#http://ww31.soundclout.com/pmjsnews} {pinterest#https://id.pinterest.com/pmjsnews/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCs47N8GJtXOSwBnOARb7DJQ} {instagram#https://www.instagram.com/pmjsnews/}

Google ads Main JS

y
flickrbadge

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.